CSR & Pelestarian Lingkungan HidupÂ
Aku lahir dan besar di desa ini, desa Tetebatu, berbatasan langsung dengan gunung Rinjani. Sebetulnya di desaku, banyak sumber air yang muncul dan mengalir dari sela - sela bebatuan. Bahkan ada irigasi buatan Jepang, yang masih berfungsi sampai sekarang. Embung juga ada. Danau kecil buatan alam itu terletak ditengah hutan.Â
Akan tetapi di musim kemarau, airnya jauh berkurang. Jika hujan tidak turun dan mengguyur desa, selama 30 hari saja, air mulai jadi masalah di tempatku. Kata ayah sebetulnya ada pipa besi  leding besar yang melintas di depan kampung kami, tapi itu milik PDAM, tidak boleh di ganggu.Â
PDAM hanya menyalurkan dan melayani pelanggan nya saja, sementara kami yang bukan pelanggan, meskipun sumber air ada di wilayah desa kami, tidak dilayani. Sehingga kami tak  dapat ikut merasakan manfaatnya, karena tidak membayar. baca disiniÂ
Pulauku terkenal obyek wisatanya, banyak turis yang datang ke tempat kami, melihat keindahan pantai kute, dan laut biru yang mempesona. Berbanding terbalik dengan keadaan kami orang Lombok asli, yang sebagian masih hidup secara sederhana, kalau tidak boleh dibilang kekurangan.Â
Sebagai anak desa, Aku juga juga punya cita-cita ingin memajukan daerah ku. Mengangkat harkat dan martabat keluargaku. Memperbaiki pendapatan, kesempatan, dan kwalitas hidup keluarga Ku dan masyarakat Ku, nantinya.
Kembali kepersoalan air, sebetulnya seandai nya ada cara atau aturan tata kelola  yang baik, ber sinergy, terintegrasi, koordinasi,  dan saling mendukung, antara masyarakat dengan PDAM, dan perusahaan yang punya program CSR, mungkin ada solusi dan jalan keluar nya.Â
itulah mengapa Ibu Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara bilang,: "tata kelola air bersih masih banyak kekurangan". Belajar dari kasus gempa pada 2018, ketika banyak jaringan air bersih putus karena gempa, terlihat kalau persoalan air bersih masih jadi urusan individu, urusan dusun, desa, bahkan kampung-kampung. PDAM sudah memperbaiki pipa rusak, tetapi masih banyak warga tak mendapat air bersih. Terlebih, desa-desa yang berbatasan dengan hutan.
"Ini menunjukkan pengelolaan air bersih belum terintegrasi,'' katanya.
Pengalaman kerusakan jaringan pipa air bersih dampak gempa 2018, katanya,:" seharusnye jadi pembelajaran bagi pemerintah.Â
"Pemerintah, jangan hanya fokus rekonstruksi bangunan perkantoran dan rumah warga. Rekonstruksi, kata  Ridha,:" seharusnya berlaku buat jaringan air bersih, perlu ada master plan jaringan distribusi air bersih dan pengelolaan terintegrasi. Pengelolaan yang baik, katanya, memungkinkan tak ada lagi konflik perebutan air bersih.
"Saat ini, banyak berjalan sendiri-sendiri,'' tutup Bu Ridha. (Â baca disini )
Bukan cuma kami anak desa Tetebatu yang mengalami persoalan air bersih, tiap kali kemarau tiba, tapi juga ratusan desa yang ada di wilayah kami, provinsi Nusa Tenggara Barat, termasuk Taliwang di Kabupaten Sumbawa Barat, Lape, dan  tiga kecamatan, 13 desa ,  2.660 keluarga atau 10.084 jiwa ter dampak.  Sumbawa 17 kecamatan, 42 desa dan 20.189 keluarga atau 80.765 jiwa. Di Dompu, ada delapan kecamatan, 33 desa dan 15.094 keluarga atau 48.717 jiwa.
Kabupaten Bima, sebanyak sembilan kecamatan, 35 desa dan 1.732 keluarga atau 5.660 jiwa ter dampak. Untuk Kota Bima, ada empat kecamatan, 13 kelurahan dan 6.014 keluarga atau 17.597 jiwa ter dampak. ( baca disini )
Untuk Kabupaten Sumbawa Barat, semoga saja ada bantuan CSR dari perusahaan tambang Newmont, yang beroperasi di daerah mereka. Semoga saja  tahun depan, kami tidak lagi kesulitan air, seperti teman - teman yang ada di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Bali, dan tempat lainya yang tidak mengalami nasib serupa dengan kami anak Tetebatu Lombok. Salam buat semuanya.
@Arie, 3092019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H