Mohon tunggu...
Ardita M Solekhah
Ardita M Solekhah Mohon Tunggu... -

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keluarga dan Gender

7 September 2018   03:33 Diperbarui: 7 September 2018   03:39 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bioethicsobservatory.org

Perempuan. Sebuah topik yang menarik untuk diperbincangkan bukan hanya di kalangan laki-laki, akan tetapi kaum perempuan itu sendiri. Entah topik yang berkaitan dengan hal-hal fisik,  peran-peran strategis yang dimiliki seorang perempuan, maupun isu kekerasan yang tidak lepas atas stigma "lemahnya sosok perempuan". Topik-topik gender yang mungkin bukan barang baru masih relevan untuk dibahas mengingat pergantian generasi yang terus harus diedukasi dan munculnya data dan fakat mengenai adanya peningkatan ketidakadilan gender hingga saat ini.

Pertama, perempuan dari segi fisik "diberdayakan" untuk memperoleh banyak keuntungan. Mari lakukan riset kecil-kecilan mengenai seberapa banyak iklan yang tidak melibatkan perempuan. Hampir sebagian kecil saja yang tidak. Dalam komoditas perdagangan misalnya, bukan barang yang diperjualbelikan akan tetapi justru sisi-sisi "menarik" dari perempuan yang ditonjolkan. Sehingga banyak terjadi bias "pemberdayaan" yang merambah pada eksploitasi perempuan. Sayangnya hal tersebut menjadi hal yang justru dibanggakan.

Kedua, menjadi sebuah keuntungan bahwa pandangan terhadap perempuan telah sedikit banyak mengalami pergeseran ke arah yang lebih positif. Tidak lagi terdengar istilah  "konco wingking" yang melekat pada perempuan jawa hingga era 90-an. Apalagi dengan adanya reformasi yang kemudian seolah menggebrak kemapanan status perempuan di mata masyarakat Indonesia. 

Dengan terpilihnya orang nomor dua pada tahun 1999 yang kemudian menjabat sebagai presiden wanita pertama di Indonesia pada tahun 2001. Terlepas dengan setuju-tidak setuju atau memuaskan-tidaknya hasil kepemimpinanannya. Suatu kebanggaan bahwa Indonesia yang berstatus sebagai negara demokrasi dalam 40 tahun mampu menunjukkan bukti dengan diakuinya kesetaraan gender, sedangkan Amerika yang hingga hitungan beberapa abad berstatus negara demokrasi masih belum mampu mendudukkan seorang wanita di kursi orang nomor satu di negaranya.

Mengerucut pada implementasi hukum Islam, keberpihakan undang-undang terhadap komposisi dan peran perempuan dalam pemerintahan atau parlemen  di Indonesia bisa dikatakan menempati posisi pertama dan paling maju di antara negara-negara Islam di dunia. Katakanlah Timur Tengah sebagai pusat perkembangan Islam dunia, baru dua tahun terakhir mengakui dan mengesahkan undang-undang keterlibatan perempuan dalam ranah politik.

Perkembangan pemikiran mengenai kesetaraan gender khususnya di bidang politik kedudukan wanita sebagai seorang presiden yang cukup menjadi bahasan yang kontroversial di kalangan ulama dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali. Sebagai seorang ulama yang diidolakan, pendapatnya mengenai kriteria seorang presiden yang salah satunya menyebutkan adz-dzukuurah (laki-laki) menjadi salah kiblat dalam berpolitik. 

Sehingga kesempatan perempuan menjadi pemimpin negara otomatis tertolak. Sedangkan jika merujuk kepada Ibnu Khaldun maupun Al-Farabi, keduanya tidak memasukkan syarat tersebut  dalam kriteria seorang presiden. Selain itu berdasarkan disertasi Nasarudin Umar, pemaknaan surat An-Nisa ayat 34 yang artinya

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Rijaal memiliki tafsir yang berbeda dengan Dzakar meski keduanya diartikan dengan laki-laki. Rijaal merupakan sifat yang menunjukkan suatu kemampuan, keterampilan, atau peran (gender). Sedangkan Dzakar menunjukkan jenis kelamin (seks). Dengan demikian, ayat tersebut tidak menghalangi perempuan menjadi pemimpin dengan syarat berkemampuan.

Ketiga, fakta dan data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan beberapa isu yang berhubungan dengan ketidakadilan perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, buruh migran yang sebagian besar merupakan tenaga kerja wanita, menjadi sebagian kecil contoh dari kasus yang ada dan terlihat. Di sisi lain, terdapat pula beberapa permasalahan yang merugikan perempuan namun tidak terlihat secara langsung seperti kasus rencana pembangunan Pabrik Semen di Kalimantan Barat. 

Dampaknya adalah eksploitasi alam seperti kelangkaan air dan pangan yang menjalar kepada keterbatasan perempuan dalam menjangkau sumber daya alam dan pangan. Harus diakui bahwa mayoritas perempuan di Indonesia masih banyak berperan di ranah domestik, sehingga gonjang-ganjing pada ranah kebutuhan keseharian akan menjadi kerugian bagi kaum perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun