Seseorang yang beragama, ia belum tentu spiritual. Spiritualitas (kerohanian) seseorang sama sekali tidak bisa diukur dari berapa kali dalam seminggu ia mengunjungi masjid, gereja atau rumah-rumah ibadah lainnya. Tapi, spiritualitas itu dibuktikan.
Bukti spiritualitas seseorang adalah harmoni (selaras) antara pikiran, kata-kata dan perbuatan. Bukan hanya dalam hubungan dengan orang lain, tapi juga menyangkut hubungannya dengan Tuhan dan seluruh ciptaan Beliau. Mengerti bahwa semua jiwa sejatinya bersaudara, lalu mengerti bagaimana seharusnya memperlakukan saudara.
Spiritual bukan agama, melainkan pengetahuan. Walaupun bukan agama, namun pengetahuan ini tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan Tuhan.
Seseorang yang beragama belum tentu spiritual. Ia yang beragama, belum tentu rohani/spirit/jiwanya menyala terang. Walaupun saya beragama, tapi sifat-sifat saya menunjukkan seperti saya tak pernah mengenal Tuhan. Saya beragama tapi pemarah dan menyukai permusuhan, misalnya.
Atau ….
Ketika berada di dalam rumah ibadah, pikiran saya bisa melayang kepada enaknya makanan yang saya konsumsi tadi, atau pas beribadah, saya bisa memikirkan warung makan yang hendak saya tuju nanti usai ibadah.
Namun seorang spiritualis, walaupun ia sedang ada di meja makan, pikirannya tertuju kepada keagungan dan kemuliaan Tuhan. Ia memikirkan Tuhan tanpa terbatas apapun aktivitasnya. Spiritnya jernih, walaupun lapar. Ia paham betul dari mana asal makanan, apa yang harus dilakukan dengan makanan, apa yang harus dilakukan kepada semua pihak yang ikut serta menggerakkan makanan dari sumber hingga mencapai meja makan. Ini hanya contoh sebagian saja...
Oleh karena spiritualitas merupakan pengetahuan tentang hal-hal dan nilai-nilai illahiah serta bagaimana bisa kembali meraih nilai-nilai asli itu, maka ia memerlukan “bejana” yang sungguh bersih.
Ibarat susu singa, ia akan masam bila ditampung dalam bejana yang tidak bersih. Diperlukan “bejana emas” untuk menampung “susu singa”.
Artinya, wadah (pikiran penerima) harus bersih dulu, tidak boleh terkontaminasi kenegatifan/sampah. Jika wadahnya tidak bersih, maka pengetahuan ini hanya bisa dikatakan atau diceritakan dan tidak bisa diserapi. Jika wadahnya saja tidak mampu menyerapi, apa yang mau dibagikan?
Sudah banyak kita saksikan. Walaupun jumlah rumah ibadah dan ahli ibadah makin meningkat, ini dibarengi dengan meningkatnya kerusakan, kriminalitas dan kekacauan. Mengapa? Sebab banyak wadah atau bejana yang digunakan untuk menampung “susu singa” tersebut, jauh dari kebersihan, apalagi kesucian.