Semalam, seorang bapak datang kepada saya dan menceritakan keadaan hatinya yang nyesek gara-gara UKT (Uang Kuliah Tunggal).
“Loh, ada apa toh pak, wong anaknya diterima di Negeri kok masih nyesek?”, Tanya saya.
“Itulah…harusnya kan saya bahagia, ya?”
“Iyalaah…apalagi diterima di Universitas ‘Paling Negeri’. Bukannya itu Universitas yang baru saja di-negeri-kan oleh pemerintah? Kabarnya bagus! Mana mottonya hebat pula ‘Kampus Bela Negeri’, kan? Baru jadi Negeri, tukang bela negeri, masih anget, masih gress Negerinya. Lalu pasal nyeseknya dimana?”
Dengan sigap si bapak langsung bergerak mengambil beberapa lembar kwarto untuk menjelaskan kepada saya dimana faktor-faktor yang membuat dadanya sesek. Ia segera menulis range perbandingan UKT, antara Unair, ITS dan PT yang baru di-Negeri-kan oleh pemerintah. (Sambil perbincangan berlanjut)
“Lhah yo bu…, Unair, ITS dan perguruan tinggi yang lebih dahulu Negeri saja masih memberi kesempatan kepada orang tua untuk banding soal UKT. Itu Bu Dina, anaknya keterima di Unair. Ketika anaknya diwawancara oleh tim, UKT nya ditetapkan Rp 2 juta per semester. Bu Dina ngga terima, lalu diberi kesempatan banding. Bandinglah dia. Ehh... bisa turun hingga Rp sejuta per semester.”
“Lalu? Di pergururan yang baru Negeri itu gimana?
“Lhah yo iku…anak saya sudah membawa seabreg bukti. Pengakuan atas penghasilan saya yang pas-pasan (Rp 2 juta) ditambah penghasilan tidak tetap tapi juga tidak banyak. Hanya cukuplah untuk biayai keluarga dengan dua anak. Foto rumah yang saya tinggali sekarang (tampak samping, depan, belakang). Itupun bukan rumah saya. Rumah dipinjami kakak saya. Sampai sekarang saya belum punya rumah. Ini juga sudah saya beritahukan. Rekening listrik saya ngga sampe seratus ribu per bulan. Air juga bukan PDAM. Bayangan saya, saya ini tidak miskin-miskin sungguh. Ngga mau jadi beban pemerintah. Kalau untuk UKT kisaran Rp 2,5 juta per semester, saya akan berjuang dan saya pastikan ada untuk itu. Ehhh…lha kok bisa-bisanya range UKT Rp 2,5 juta itu ternyata ngga ada! Yang saya tidak paham, bagaimana Universitas ini bisa main lompat range. UKT terendah Rp 500 ribu, lalu Rp sejuta, lalu tiba-tiba lompat jadi Rp 4 juta, 5 juta dst! Gila nggak? Dan anak saya ditetapkan UKT nya Rp 4 juta, gila nggak?”
“Memang dari mana mereka putuskan sehingga bapak dikenakan Rp 4 juta?”
“Dari profesi saya yang dosen. Dosen dianggap mampu bayar UKT setinggi itu. Padahal kan ngga semua dosen mampu bayar segitu. Saya ngga habis pikir, trus apa gunanya dokumen seabreg yang diminta itu, kalau akhirnya akan jadi begini? Mengapa range itu harus lompat segala dari sejuta ke empat juta? Bahkan saya jumpai banyak orang tua yang mengeluh tidak berdaya. Banyak yang kecewa karena kemampuannya sebetulnya hanya pada range Rp 1 juta - kurang dari Rp 4 juta. Maksudnya apa gitu loh? Pakai lompat-lompat range?
"Mbok ya, seperti ITS itu loh, jelas, fair! Range UKT bergerak proporsional dari 500 ribu, lalu sejuta, lalu 2,5 juta, 4 juta, 5 juta dst…. Ini kan jelas, ya?! Lhak kalau seperti perguruan tinggi yang baru saja Negeri ini kan aneh? Kenapa kami ngga dimasukkan saja ke golongan/range sejuta? Kenapa (seolah) maksa kami masuk pada range Rp 4 juta? Siapa yang ngga nyesek, coba? Dan bukan hanya saya loh! Istri saya juga muter nanya para orang tua, mereka sangat menyesal dan tidak berdaya”
“Lhah terus? Mau bapak?”
“Itu dia! Saya harus kemana? Ke Ditjen DIKTI atau ke YLKI? Apa memang harus begitu ya yang namanya UKT? Padahal Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada Perguruan Tinggi Negeri harus diselenggarakan dengan prinsip adil, akuntabel dan transparan. Kalau begini, letak adilnya dimana coba? Kesempatan saya untuk membayar Rp 2,5 juta tidak diberi ruang sama sekali! Dan bukan hanya saya loh! Catet! Banyak yang mengalami kejadian begini!”
“Lhah sudah..mbok banding aja!”
“Di sinilah masalahnya! Unair, ITS yang sudah lama Negeri saja masih memberikan hak kepada orang tua untuk banding dan membicarakan keadaan ekonomi orang tua yang sesunguhnya. Lhah di sini, kami sudah nanya-nanya, malah diberi informasi ngga ada banding-bandingan. Yang diwawancara si anak, calon mahasiswa. Orang tua tidak diberi kesempatan untuk masuk. Katanya kalau kami keberatan disuruh urus kartu GAKIN aja…”
“Lhah mbok sudah urus GAKIN aja…”
“Ibu ngga pernah mengalami bagaimana rasanya ngurus GAKIN, sih! Selama KTP bunyi ‘Dosen’, mana ada orang percaya ada dosen miskin, walaupun sebenarnya memang miskin? Lagian, saya juga ngga mau jadi beban pemerintah, saya sanggup kok bayar Rp 2,5 juta per semester. Hanya kemana saya harus minta tolong menyuarakan ini??”
“Kalau saya tulis di Kompasiana gimana?”
“Baiklah…! Tolong ya bu! Semoga pihak yang berwenang mendengar ini. Ini bukan persoalan saya seorang diri. Ini persoalan para orang tua. Persoalan kami yang merasa hak kami dan kesempatan kami dipotong, di cut, tidak diberi ruang.”
Finally, jadilah artikel ini. Semoga yang berwenang mendengar jeritan para orang tua yang kemampuan bayar UKT nya ada di kisaran di atas Rp 1 juta hingga kurang dari Rp 4 juta. Kasihan anak-anak kita, sudah berjuang bisa diterima di Negeri, masa harus mengundurkan diri gara-gara hak UKT nya diloncati?
Terima kasih Allah, Tuhan Yang Esa dan semua yang telah menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H