Semalam di meja mbak Wiwik, aku menemukan sebuah buku fisafat ilmu. Pelajaran yang dulu paling kubenci karena tidak menarik dan membingungkan.
Pelan-pelan, kubaca apa itu definisi filsafat ilmu dengan bersuara. Mbak Wik ikut mendengar. Ia jadi tertarik karena cara bacaku yang pelan-pelan, sangat hati-hati, dan mengulang-ulang frasa demi frasa.
"Hmm..buku siapa nih?", tanyaku pada mbak Wik.
"Pak Paulus! Aku pinjam untuk anakku yang sedang kuliah di Fak. Psikologi. Ia pusing. Katanya, filsafat ilmu membingungkan!", jawab mbak Wik.
Tiba-tiba pak Paulus muncul dan bergabung dalam perbincangan kami. Satu kata kunci yang kami sepakati soal filsafat adalah "perenungan". Dan aku menambahkan kata "mendalam", sehingga menjadi "perenungan yg mendalam".
Pagi tadi, aku duduk diam. Teringat senyum sang capres yang hari ini membuat banyak orang marah, gemes, jengkel, mual, muak dsb dsb. Aku coba intip lagi dia. Perasaan tidak ada yg salah dengan senyum. Itu hanya senyum. Itu senyum, itu gigi yang manis, itu wajah yang indah dan itu hati yang bahagia. Lalu, mengapa banyak yang marah, hanya karena senyum dan wajah?
Jadi ingat pelajaran yang sudah dan sedang dalam proses kupelajari dari guru:
"Kemarahan itu respons/emosi. Marah bisa timbul manakala aku mendapat apa-apa yang tidak kuharapkan. Marah juga bisa timbul manakala aku tidak mendapat apa yang kuinginkan. Marah itu salah satu dari negatifisme. Guru menyebutnya sebagai "maya". Empat lainnya dari "maya" adalah ego, ketamakan, nafsu dan keterikatan/kemelekatan/ketergantungan”.
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah Yang Maha Mencahayai. Terima kasih kepada kemarahan-kemarahan yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H