[caption id="attachment_319071" align="aligncenter" width="604" caption="Desa Sejuta Lontar-Dokpri Aridha Prassetya"][/caption]
Saat penilaian akreditasi prodi, seorang Profesor, asesor dari PTN, terpingkal-pingkal membaca salah satu soal ujian untuk matkul Manajemen Pemasaran yang saya ampu. Lucu dan tidak relevan, katanya. Kurang lebih berbunyi, “Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang memasarkan diri dan ceritakan kepada saya implementasinya sesuai dengan pengalaman Anda!”
Saya ikut tertawa meramaikan suasana, namun tetap yakin akan pentingnya memberi bekal kepada para mahasiswa tentang memasarkan diri. Sebab, dunia kian bersaing. Mereka harus hati-hati memilih pada sisi mana sebaiknya unggul. Itu bukan pertama saya ditertawai senior dari PTN. Saya pernah ditertawai karena setia kepada Universitas perjuangan yang bertahan melestarikan nilai-nilai kejuangan ditengah modernitas. Juga pernah ditertawai karena materi-materi yang secara permukaan, tampak “nyleneh”, tidak umum.
Saya maklum. Sebab, kami beda “ladang garapan”, beda segmen, beda bahan baku, beda proses dan sangat mungkin beda hasil. Beliau sangat terbiasa mengajar mahasiswa murni, yang murni kuliah saja dan dibiayai orang tua. Sementara saya terbiasa belajar bersama-sama dengan mahasiswa pekerja yang berpeluh. Mereka datang dari ragam latar belakang pekerjaan seperti cleaning service, pramuniaga, karyawan bank, karyawan instansi pemerintah maupun swasta, yang ingin naik karir dan memperbaiki kehidupannya. Para mahasiswa inilah yang banyak mengajarkan saya tentang bagaimana menghargai dan memuliakan manusia tanpa memandang kelas, tanpa memandang kostum kesementaraan. Mereka duduk pada kelas dan jenis bangku yang sama di hadapan saya. Mereka mengajarkan saya bagaimana menjadi manusia yang terus menerus berkeinginan belajar.
Bahwa ada karyawan yang ingin menjadi sarjana, karena karirnya menuntut itu, ini hanyalah satu saja dari sekian persoalan di Indonesia yang kami coba ikut atasi dari sini. Jika semua perguruan tinggi memilih hanya mahasiswa murni, lalu siapa yang berperan membantu para pekerja ini memperoleh pendidikan tinggi yang dulu sempat tertunda ? Untuk tujuan itulah, saya lebih memilih berdiri dan terus berkonsentrasi belajar bersama mereka, membantu mereka mencapai cita-cita yang lebih tinggi, seperti saudara-saudaranya yang lain, dengan tetap mengindahkan rambu-rambu pembelajaran. Saya tidak pernah goyah, meskipun kami hanya dipandang sebelah mata oleh sesama perguruan tinggi dan sebagian masyarakat pecinta “kostum” dan merek-merek.
[caption id="attachment_319073" align="aligncenter" width="576" caption="Belajar dari pengusaha muda di desa"]
Dalam kuliah Manajemen Pemasaran Lanjutan, saya menyelipkan beberapa materi khusus, antara lain Memasarkan Diri (Self Marketing), Spiritual Marketing dan Pemasaran Daerah (Desa)
Memasarkan Diri, bertujuan agar mahasiswa mengerti apa saja yang harus dipersiapkan dalam rangka menolong dirinya sendiri dan orang lain, serta mengerti dari mana membangun keunggulan bersaing. Tampang fisik, merek perguruan tinggi, ijasah sarjana, transkrip nilai dengan indeks prestasi tinggi mungkin penting sebagai bekal meningkatkan karir, tapi tanpa unggul dalam kejujuran, keluhuran budi dan karakter nilai-nilai kejuangan, itu semua hanya akan membantu proses bunuh diri mereka ditengah persaingan. Kebetulan kami punya materi khusus membudayakan jiwa, semangat dan nilai-nilai 45 (JSN’45).
Spiritual Marketing, bertujuan membuat mereka belajar tentang pemasaran yang jujur dan luhur agar sebuah bisnis menjadi langgeng dan bermakna. Terlibat dengan bisnis apapun, mereka harus cerdas secara spiritual, jauh dari tindak komersialitas yang ngawur. Contoh sederhananya, membubuhkan zat-zat berbahaya dan melukai alam pada produk yang diperdagangkan, menetapkan harga secara tidak terukur dan membabi buta untuk memperkaya diri sendiri, berpromosi dengan cara-cara yang tidak jujur dan tidak luhur, serta mendistribusikan produk secara curang.
Ini harus saya berikan. Sebab, hari ini saya melihat dunia bisnis banyak mengalami kerusakan yang parah. Banyak produk-produk “berpenyakit” yang bukan hanya merusak sel-sel syaraf generasi anak-anak, tapi juga memperliar nafsu belanja. Masyarakat diajarkan konsumtif dari berbagai sisi yang bermuara pada penderitaan psikis dan finansial. Dari makanan, obat, pendidikan, gadget, berita, informasi, teknologi, pakaian, sepatu, dompet, tas, dan rumah tinggal, busana muslim, busana pengantin, sebagian besar mengandung “nafsu komersialisme dan konsumerisme”, dibuat untuk tujuan merangsang nafsu (konsumtif) dan gengsi. Saya bilang kepada mereka agar terus memelihara cara-cara pemasaran yang spiritual, yang luhur secara rohani. Sebab, yang tidak luhur, dampaknya hari ini kita sudah saksikan.
Pemasaran Daerah yang saya awali gerakannya dari desa, saya berikan agar mereka mengerti tentang pentingnya memperkenalkan daerahnya masing-masing kepada masyarakat luas, agar potensi-potensi yang ada dapat diberdayakan dan agar masyarakatnya beroleh kesejahteraan dari apa yang sudah dianugerahkan Tuhan pada setiap jengkal tanah negeri ini.
[caption id="attachment_319074" align="aligncenter" width="579" caption="Diskusi dengan Hardi Sunaryo, pemilik merek Legen Syifa"]
Saya bahagia mengikuti mereka belajar bagaimana kegiatan ekonomi di pedesaaan berjalan dan berkembang. Saya perkenalkan mereka dengan Usaha Skala Mikro, yang berkembang di pedesaan. Mereka harus tahu bagaimana masyarakat kelas akar rumput ini, berproses memberdayakan diri melalui pemanfaatan potensi yang ada. Mereka perlu melihat, demikian luasnya ilmu pengetahuan, demikian luasnya kesempatan terbentang, demikian beragamnya peluang menciptakan penghasilan. Dengan demikian, mereka tidak perlu terlalu khawatir terhadap masa depannya, tidak bergantung kepada perusahaan dimana hari ini mereka bekerja, juga tidak terlalu bergantung kepada pemerintah yang sudah sarat persoalan.
Mereka bisa belajar tentang strategi pemasaran yang diterapkan oleh pengusaha-pengusaha muda yang berhasil di desa, yang mungkin saja sangat berbeda dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh literatur-literatur asing. Kami belajar dengan bahagia. Sungguh mahasiswa adalah guru-guru saya yang hebat.
Sepulang dari lapangan, mereka menghasilkan sesuatu yang melampaui dari apa yang saya targetkan. Ketika mereka saya minta terjun belajar tentang strategi pemasaran produk legen/nira lontar kepada para pengusaha muda Desa Hendrosari, Menganti, Gresik-Jawa Timur, mereka juga memberikan saya oleh-oleh tentang bocoran racikan membuat legen buatan (yang sama sekali diluar dugaan saya).
[caption id="attachment_319075" align="aligncenter" width="626" caption="Penjual Siwalan Mengupas Buah Lontar"]
Seperti saya tulis sebelumnya, legen/nira lontar ini, hanya dapat bertahan sekitar 3 jam, setelah itu ia akan berubah menjadi toak dan memabukkan. Dengan demikian, legen asli Syifa’, hanya mungkin di dapat di lokasi pertanian lontar. Bila Anda membeli legen yang dijual jauh dari lokasi petani lontarnya, apalagi di atas jam 10 siang, di jalan-jalan atau di kota-kota besar, maka, sangat mungkin itu adalah legen racikan/buatan. Sebab, sekali lagi, daya tahan legen diluar freezer, hanya sekitar 3 jam dan waktu penderesan hanya pada dua waktu, pukul lima pagi dan pukul empat sore.
[caption id="attachment_319076" align="aligncenter" width="255" caption="Menderes legen hanya pada pagi buta dan sore hari"]
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah, Tuhan Yang Maha Berilmu Pengetahuan. Terima kasih kepada para mahasiswa FE Universitas 45 Surabaya dan semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H