Pertama, saya belajar mengerti dulu siapa sejatinya saya. Ke dua, saya belajar mengerti kualitas asli saya (Kualitas Asli Jiwa). Ke tiga, saya belajar selalu mengingat kualitas asli saya, agar kepalsuan-kepalsuan bisa saya kendalikan. Bukan sebaliknya, justru dikendalikan oleh kepalsuan-kepalsuan.
Manakala ketiga tahap ini bisa dipahami, responsibility menjadi meningkat. Responsibility saya pahami sebagai ability to response (kemampuan merespon). Benar saja, ketika saya belajar memahami 3 tahapan ini, saya menjadi lebih bisa damai dalam merespon setiap kejadian yang tidak membahagiakan. (Bukan berarti saya tak jatuh bangun mempelajari ini).
Bagaimanapun ribet dan ributnya situasi, bagaimanapun chaosnya keadaan di luar diri, jiwa yang sadar jiwa, mampu tidak panik. Ia tak mudah blaming (menyalah-nyalahkan orang lain/situasi). Yang sadar jiwa, ia bisa tetap merasa damai saja. Secara bertahap pula, urusan “pembungkus” menjadi lebih mudah diatasi, termasuk urusan badan sebagai wadah.
Bila jiwa ingat bahwa ia aslinya murni, maka ia sensitif terhadap hati, pikiran dan juga badannya sendiri yang mungkin mulai sedikit kotor/bau. Bila jiwa sadar bahwa ia aslinya adalah bahagia, maka ia tak kan berlama-lama berduka. Bila jiwa sadar bahwa aslinya ia adalah damai, maka ia enggan terkontaminasi kebencian, kedengkian dan balas dendam. Ia tidak bersyukur atas penderitaan jiwa lain sedang “lupa diri”.
Bila jiwa ingat bahwa aslinya ia adalah (roh yang) bebas, maka ia tidak mudah sakit/kecewa. Yang sadar jiwa, ia tahu bahwa kecewa/marah adalah akibat keterikatan. Bila sampai roh merasa kesakitan, itu pasti telah terjadi keterikatan yang mendalam. Dan ini adalah kekeliruan! Sebab roh, harusnya tidak terikat.
Bila jiwa ingat bahwa ia punya kualitas truth/benar, maka ia terus berupaya selalu terhubung dengan Yang Maha Benar.
Inilah pentingnya kesadaran jiwa. Sadar jiwa adalah sadar akan Kualitas Asli Jiwa. Supaya tidak mudah “terkecoh” lalu dikuasai maya/kepalsuan. Apakah kepalsuan itu? Ego, amarah, serakah, keterikatan dan nafsu. Mengapa disebut palsu? Sebab mereka bukan kualitas asli sang jiwa. Mereka semua, adalah kualitas palsu.
Sementara, sampai di sini dulu, semoga sambungannya bisa ditulis kemudian.
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih kepada Allah Yang Maha Mendidik. Terima kasih kepada semuanya, para guru yang sudah menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H