Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sudut Pandang: Aku Hargai Keinginan Bang Haji Jadi Presiden

18 November 2012   01:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:09 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak sengaja memencet remote, muncul sosok Ridho Rhoma, diwawancara oleh presenter infotainment. Ia diminta pendapat tentang ayahnya yang mencalonkan diri menjadi presiden.

Ridho menilai bahwa, ayahnya mampu menjadi presiden. Kata Ridho, kemampuan memimpin itu sudah dibuktikan ayahnya, pada tingkat karir dan pada tingkat keluarga. Ayahnya mampu memimpin Soneta, sudah berpuluh-puluh tahun. Selain itu, ayahnya juga mampu mempimpin keluarga besarnya.

Bergelut 18 tahun di dunia akademis, ternyata belum cukup mendewasakan saya. Naluri keakademisan saya mulai terusik dan tersinggung. Mencari-cari logika agar bisa melumpuhkan pendapat yang tidak saya sepakati.

Keyakinan Ridho akan kemampuan sang ayah, membuat saya sakit hati. Kata-kata Ridho, saya nilai sebagai sebuah pandangan yang “naïf” dan “dangkal” dari seorang “bocah”. Hati saya gemas, pikiran saya meradang. Ingin rasanya mengatakan kepada dunia bahwa “Keberhasilan seorang Rhoma Irama memimpin Soneta dan keluarga, tidak bisa dijadikan ukuran bahwa ia bakal mampu memimpin pengelolaan sebuah Negara”.

Saya menjadi tinggi hati. Padahal, di dalam gedung-gedung yang namanya sekolahan, saya mengaku telah memahami materi-materi tentang perbedaan pandang, perbedaan pendapat dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Namun giliran penyanyi mencalonkan diri untuk berkesempatan memimpin negeri, saya menjadi sakit hati.

Saya tidak sadar bahwa peremehan saya terhadap pencalonan bang Haji adalah cermin ketakutan saya yang tidak beralasan. Adalah bukti ketidakberhasilan saya mempelajari ilmu-ilmu berpuluh-puluh tahun lamanya. Saya seperti mengubur keluhuran dan kemuliaan dengan kesombongan. Bersikukuh bertahan dalam pemikiran bahwa yang mampu memimpin negeri hanyalah akademisi, pengusaha dan politisi. Padahal memimpin dan mengelola itu bukan sekedar ilmu. Memimpin dan mengelola adalah kombinasi ilmu pengetahuan dan seni.

Saya mengaku berilmu berpengetahuan. Mengaku paham sudut-sudut pandang, namun saya justru tidak mampu menerima sudut pandang yang lain, selain dari sudut pandang saya sendiri. Bukankah ini hanya soal sudut pandang (?)

Konon katanya, keberhasilan sebuah Negara, berangkat dari keberhasilan, daerah, kabupaten dan kota, kecamatan, pedesaan, RT/RW dan keluarga. Bahkan ada yang berkeyakinan, bahwa bila seseorang sanggup memimpin keluarganya, maka ia sanggup memimpin orang-orang di sekitarnya.

Selalu ada alasan. Jika Prabowo saya nilai tak layak karena gagal mempertahankan rumah tangga, maka bang Haji saya nilai tidak layak, karena terlalu berhasil atau “terlalu mampu” memimpin rumah tangganya.

Sisi lemah bang Haji yang paling bisa saya usik dan saya eksploitasi adalah, ia mempunyai beberapa ibu untuk anak-anaknya. Padahal, faktanya, belum pernah saya dengar “keluarga-keluarga” bang Haji didera konflik serius, kecuali yang sibuk berkonflik adalah infotainment.

Di sini pandangan saya dan Ridho berbeda. Saya menganggap bahwa seorang lelaki yang memiliki beberapa ibu bagi anak-anaknya adalah kelemahan, namun bagi Ridho (dan mungkin yang lain), tidak demikian. Bisa saja ini dinilai sebagai sebuah kelebihan yang tidak biasa.

Ridho mungkin saja berpandangan bahwa bila pada tingkat keluarga, seseorang mampu menjadi pemimpin/imam, maka ia pun punya kemampuan memimpin orang-orang. Yang mampu merasakan ini hanyalah keluarga bang Haji dan saya tak boleh menduga-duga apalagi memponis buruk.

Meskipun bang Haji mengaku mampu memimpin, namun beliau juga mengakui bahwa keputusan terakhir tetap berada di tangan rakyat pemilih. Beliau sanggup menunggu pembuktian itu. Jika saya mau jujur, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan penilaian mereka atas diri sendiri.

Ilmu ini sering saya pelajari. Bukunya sering saya baca hingga “lecek”. Bahwa penilaian kinerja itu bersumber dari penilaian diri sendiri dan penilaian orang lain. Yang tidak saya mengerti adalah, mengapa begitu berhadapan dengan dunia praktik, saya menjadi keberatan, lalu mencemooh penilaian bang Haji atas kemampuan dirinya sendiri. Dalam penilaian deskripsi diri untuk “naik pangkat”, untuk mendapat tunjangan sertifikasi dari Negara/pemerintah, saya dibolehkan menilai kemampuan diri saya. Lalu saya antusias menilai kemampuan dan kebaikan saya. Tapi mengapa, giliran bang Haji menilai kemampuan diri, saya mendadak jadi sinis? Ironis sekali! Rasanya saya harus “nggerayangi githok dhewe” (bercermin diri).

Inilah kemunafikan saya sebagai akademisi. Mengaku mengerti pelajaran, mengerti cara belajar, mengerti hal-hal baik dan buruk, mengerti kemuliaan dan keluhuran, mengaku mengerti penghormatan hak-hak asasi, namun begitu dihadapkan pada dunia praktik nyata, saya tak sanggup bersikap dan bertindak benar. Selalu saja sinis terhadap keinginan baik orang lain, mencari celah yang bisa saya lemahkan.

Saya membungkus kemunafikan dengan kata TETAPI. Saya gemar mengucap, “Boleh-boleh saja…TETAPI….”.

Bila keberatan terhadap sesuatu, saya pura-pura ikhlas pada awal kalimat, mengatakan boleh-boleh saja, namun kemudian membubuhkan banyak kata “TETAPI” di sana.

Mungkin karena masih punya sisa-sisa kesantunan, sehingga berpendapat pun harus bisa saya lembut-lembutkan, saya sopan-sopankan dan saya santun-santunkan. Meskipun sesungguhnya yang ingin saya katakan adalah sebuah sebuah pengecilan atau peremehan kemampuan orang lain.

Akhirnya, mohon maaf kepada bang Haji dan keluarga, atas ketinggian hati saya. Dan terima kasih banyak sudah mengajari saya sesuatu yang sangat penting. Tentang kedataran dalam berkata-kata, tentang bagaimana menyikapi cacian, tentang penerimaan, tentang keabsahan menilai diri sendiri, tentang kesabaran menunggu nilai-nilai subyektivitas berubah menjadi nilai-nilai obyektivitas. Juga tentang bagaimana berpraktik mengerti dan menghargai sudut pandang.

Dan…ini hanyalah satu sudut pandang saja. Kita memang tidak harus sama. Kadang kita harus berbeda. Terima kasih Tuhan. Terima kasih sudah membaca. Salam bahagia dan terus berkarya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun