Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untuk Bunda Pintar: "Pentingkah Uang Jajan Bagi Anak?"

3 November 2012   22:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:01 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terima kasih mas Valentino, bersedia “mengundang” saya, untuk bicara soal uang jajan bagi anak-anak, di radio AM/MW 1440, suara edukasi.kemdikbud, beberapa waktu lalu.

Bicara penting dan tidak penting adalah bicara kegunaan. Bila tidak ada gunanya, itu tidak penting. Bicara kegunaan, berarti bicara kebutuhan. Apabila tidak dibutuhkan, berarti tidak ada gunanya.

Jadi sebelum memutuskan memberi uang jajan, pertanyaan yang harus dijawab adalah:


  1. “Apakah betul anak saya membutuhkan uang jajan?”
  2. “Untuk apa anak-anak harus diberikan uang jajan?, Untuk memenuhi kebutuhan apa?” Jangan-jangan hanya untuk memenuhi keinginan saja.
  3. “Uang jajan itu, keinginan ibu, keinginan anak, atau keinginan sekolah?”

Dulu, uang jajan disebut uang saku. Karena anak-anak menggunakannya untuk membeli jajan, maka istilahnya berubah menjadi uang jajan. Lama-lama, yang namanya jajan juga mengalami perubahan wujud. Bila dahulu jajan ya jajanan/kue, sekarang jajan bisa jadi game on line hingga gadget mahal.

Anak-anak menjadi menuntut uang saku,sebab orang-orang di sekelilingnya mengajarkan itu. Bahwa sekolah dan uang saku adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Padahal seharusnya dapat dipisahkan.

Pemicu harus disediakannya uang saku adalah:


  1. Sekolah membuat acara tabung menabung yang bekerjasama dengan perbankan. Siapapun pihak bank yang dating ke sekolah, omong kosong bila tujuan utamanya adalah membiasakan anak menabung. Pihak bank, pasti sudah berhitung-hitung tentang apa dan berapa yang akan diperoleh bila anak-anak menabung pada bank-nya. Bila memang sekolah ingin mengajarkan anak-anak berhemat, mengapa tidak yang bekerja adalah koperasi sekolah saja? Ini akan menjadi lebih berguna. Lebih jauh bisa menolong anak-anak yang tidak mampu atau menolong memberi pekerjaan kepada para orang tua yang kurang mampu, misalnya koperasi dikembangkan dalam bentuk kantin sekolah.
  2. Sekolah gemar membuat acara pesta. Selalu ada pesta pisah kelas. Dan herannya lagi, bila jaman dulu sekolah hanya enam tahun sekali mengadakan pesta pisah, sekarang banyak acara pesta pisah kelas ini menjadi acara tahunan. Setiap naik kelas mereka pisah-pisahan. Ini ada iurannya.
  3. Sekolah merencanakan PIKNIK. Ketika UNAS menjadi hambatan, maka anak-anak kelas 6 harus fokus belajar dan intensif mengikuti try out. Ini tidak menyurutkan langkah Maka acara piknik itu digeser ke kelas lima. Dari mana uangnya? Minta pada orang tuamu agar menabung sejak mendaftar sekolah!

Lhoh kok sekolah disalahkan?

Lhah iya memang sekolah sering tidak sadar bahwa ketika mereka menganjurkan menabung, maka sesungguhnya yang disuruh menabung adalah orang tua, sehingga pecah kepala para ibu yang tidak mampu menyediakan uang ekstra untuk hal-hal begituan. (Mungkin bagi para ibu kaya, hal ini tidak menjadi masalah). Padahal, didirikannya sekolah adalah memenuhi kebutuhan belajar ilmu pengetahuan dan kebutuhan bersosialisasi, BUKAN kebutuhan lain-lain.

Jadi hanya sekolah yang salah?

BUKAN! Orang tua juga salah. Orang tua selalu tidak punya keberanian memperjuangkan kebenaran dan meluruskan tentang apa-apa yang sudah salah dilakukan oleh sekolah. Padahal jalinan komunikasi yang sehat antara orang tua dan sekolah akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Sehat pikir dan jiwa.

Lalu siapa lagi?

Pemerintah! Tidak mampu berbuat sesuatu bagi keliaran-keliaran macam yang saya tulis tadi. Tutup mata terhadap para rentenir (baca: perbankan yang oportunis) yang datang pura-pura kerja sama dengan pihak sekolah, tutup mata terhadap persaingan yang tidak sehat antar sekolah, hingga saling menimbulkan kecemburuan sososial pada anak-anak.

Cuma itu yang salah?

Bukan! Saya juga salah. Saya tidak punya cukup kemampuan menyeru tentang apa yang saya tahu dan sudah pelajari. Saya belum mampu membuat para ibu mengerti bahwa kebutuhan itu beda dengan nafsu/keinginan. Bahwa sesungguhnya target market yang paling dikejar para produsen adalah para ibu. Termasuk menjadi target para pedagang pendidikan. Para ibu, paling gampang dipengaruhi. Para ibu banyak yang malu bila anak-anaknya sekolah di tempat yang diklaim sebagai “tidak favorit”. Sehingga berlomba-lomba mencari sekolah favorit, yang mempunyai rentetan dampak bagi anak-anaknya ke belakang. Kalau tabungan tak banyak jadi malu, kalau sepatu tak mahal jadi malu, kalau tak pernah ke resto mahal seperti temannya jadi malu, kalau gadget tak sebentar-sebentar ganti jadi malu sebab dibilang jadul oleh kawannya, kalau mobil ortu ngga ganti-ganti pun jadi malu, dst., dst. Ini perilaku membayakan. Ini memicu tuntutan uang saku berlebih.

Sekolah/belajar itu adalah kebutuhan, sedang memaksakan diri mengejar sekolah mahal, yang dibilang favorit, yang sebelum masuk ditanya dahulu tinggal di perumahan elit sebelah mana, berapa jumlah mobil dan apa mereknya, adalah keinginan yang liar. Pikirkan dan punyai rasa empati terhadap para guru yang dengan penuh pengorbanan mengajar di sekolah-sekolah biasa, yang direndahkan dan dikecilkan.

Jadi yang benar siapa?

Para orang tua yang berpikir mendalam tentang penyelamatan jiwa anak-anaknya, agar tidak menjadi korban konsumerisme, para guru yang penuh kasih dan berani meluruskan apa yang tidak lurus yang sudah dan sedang berjalan di sekolah, pemerintah yang sesekali berani melepas baju dinas, menyamar sebagai orang biasa, masuk ke dalam sekolah-sekolah, melihat apa yang terjadi, lalu meluruskan segala praktik penyimpangan.

Jadi kesimpulannya, pentingkah uang jajan?

Jika memang tidak dibutuhkan, maka itu tidaklah penting. Namun jika dibutuhkan lalu dirasa penting, maka ajari anak-anak untuk sepakat bahwa uang saku dibagi 3 komponen:


  1. Keluarkan 10% untuk duafa, fakir, yang tidak berpunya, kaum tak mampu, atau apapun istilahnya, lalu sisanya bagi dua,
  2. Separuh untuk ditabung,
  3. Separuh untuk jaga-jaga kalau-kalau ditengah perjalanan sekolah/belajar, ada kebutuhan mendadak seperti membeli pensil, ball point, lapar, haus dsb yang sifatnya mendadak.

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih mas Valent dan mbak Hanny. Salam bahagia dan terus berkarya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun