Namanya ibu Lita (sengaja disamarkan). Kemarin beliau “marah-marah”.
Begini katanya, “Bu Ridhaaa.., saya itu ndak habis pikir! Kenapa harga-harga pada naik kok yang disalahkan pemerintah?! Menurut saya kok ini sudah ndak bener! Coba bu Ridha pikir! Sekarang ini semua naik! Gula naik, telor naik, tepung naik, beras naik, minyak naik, ayam naik, ikan naik, daging naik, cabe naik, sayur naik, baju-baju naik,...semuuuaaa naik!!! Saya itu beneeer ndak habis pikiiiir! Setiap puasa, setiap mau lebaran kok begini teruuuus! Selalu semua naik! Bu Ridha tahu ndak?! Ini semua salah kita!!! Bukan salah pemerintah!!! Jangan salahkan pemerintah!!! Kita itu suka latah! Heran saya!!! Wong katanya puasa kok kayak orang kesetanan beli makanan!!! Namanya puasa itu ya mestinya, yang dimakan agak di “rem” dari yang biasa dimakan! Iya ndak? Hayoo, pikir! Mestinya ya bisa lebih prihatin! Menahan hawa nafsu! Lhah ini?! Katanya puasa tapi segala makanan dibeli. Segala dikonsumsi! Sahur mau makan enak, buka mau makan mewah! Coba bu Ridha pikir! Kalau semua pada kesetanan bela-beli…bela-beli…bela-beli semuanya, apa ya ndak jadi naik harga-harga?! Ya terang naik toh? Wong permintaan buanyaak! Hayo pikir! Bener ndak?! Ya sudah, ndak usah nyalahkan pemerintah!!! Salahkan diri sendiri, kenapa jadi selalu latah tiap puasa?!”
Saya dengarkan “kemarahan” beliaunya sampai tuntas, baru saya bicara, “hehe…jangan marah sama saya dong bu. Saya kan ndak ikut latah. Biasa saja. Tidak mengada-ada. Tadi pagi, cukup belanja sayur sup seribu lima ratus dan tiga ekor mujair harga sepuluh ribu. Nanti dimasaknya jam lima sore. Sup kan sehat dan segar. Hanya perlu sedikit merica dan sesiung bawang putih. Lalu mujairnya dibakar, sudah. Pagi untuk sahur cukup 3 sendok (the) madu, secangkir kopi dan 3 gelas air putih. Sudah. Jadi, jangan ‘omelin’ saya dooong…”
Mendengar jawaban saya, beliau tertawa dan kami pun tertawa bersama. Rupanya dia tersadar sudah “memarahi” saya. Tetapi sejenak kemudian, apa yang terjadi?
Beliau mulai lagi berkata-kata (sambil menunjuk-nunjukkan telunjuknya di pelipis kanannya), “Lhah iya…saya itu ndak habis pikir..dst..dst..” Kurang lebih sama dengan yang sudah saya tulis di atas. Siaran ulang lagi.
Masuk dalam rumah, di telinga saya masih terngiang “kemarahan” bu Lita, yang sepanjang hidupnya tidak mengkonsumsi ayam dan daging, kecuali ikan laut. Saya pikir-pikir, mungkin ada benarnya.
Tapi entahlah… Sebab selalu saja ada alasan untuk “nge-les”, bahwa itu adalah berbagi rizki dengan pedagang. Nyatanya mbak Ti (tukang sayur keliling), merasa sedih dan tidak diuntungkan dengan mahalnya segala barang. Keadaan ini, justru membuat Mbak Ti selalu was-was setiap hari. Takut kalau-kalau modalnya tidak lagi cukup untuk kulakan barang dagangan keesokan harinya.
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih, Allah SWT. Terima kasih kepada semua yang menginspirasi tulisan ini.
Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H