Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu,-----
“Cahaya keilmuan mengikuti setiap gerakan perempuan “cantik”. Yang cantik itu selalu jatuh cinta pada aktivitas berbagi keilmuan yang ia tahu, tanpa syarat” (Aridha Prassetya)
Kali ini saya berani berkata bahwa perempuan Cantik itu adalah mereka yang bersedia “Mengerti Perasaan Tuhan”.
Suatu malam, saya kedatangan tamu sahabat lama. “Haaaiiii…!” , begitu kami saling menyapa histeris. Kami saling berpeluk. Saya berucap berulang-ulang, “maafkan aku ya…!, aku minta maaf ya…!, maafkan aku ya…!”
Ia hanya tersenyum sembari kami menuju ruang tamu untuk bercerita. Saya mengulangi semua kalimat penting yang sebenarnya siangnya sudah saya ucap melalui telepon. Saya katakan padanya bahwa saya minta maaf, sebab telah menyakitinya dengan kata keras. Saya telah bersikap tidak baik menganggap ia bertindak sangat bodoh. Dalam batas “pandangan” saya, ia tidak mampu mengambil keputusan tepat. Ia perempuan "bodoh".
Sahabat ini, tak pernah sekalipun marah. Ia hanya tersenyum. Setahu saya ia memang hanya bisa tersenyum. Ia adalah salah satu dari sedikit perempuan, yang tidak punya rasa sakit hati.
Tuhan telah menganugerahkan seorang suami yang sepanjang rumah tangganya hanya menyakiti hidupnya. Berapa kali ia berikan modal usaha, namun yang terjadi bukan keuntungan, melainkan kerugian yang terus menerus. Kabar terakhir yang saya dengar, sahabat ini telah menguras habis seluruh tabungannya. Ia telah menutup rekening bank nya. Bahkan sahabat ini sudah melibatkan orang tuanya untuk “menolong” suaminya yang selalu saja terjerat masalah hutang bunga berbunga.
Dalam “ketidaksabaran” saya melihat dia yang begitu baik hatinya, tetapi hidupnya “penuh disakiti”, saya seperti “tidak terima”. Sempat saya sarankan agar ia meninggalkan suaminya dan tinggal saja bersama ibunya yang memang juga sudah dibuat jengkel oleh ulah suaminya. Ia bilang ia mungkin saja bercerai tetapi tetap “tak bisa meninggalkan” suaminya. Ia tetap saja ingin menolong suaminya dengan cara semampu-mampu dia.
Jauh lebih mengagetkan, ia berharap saya dan orang-orang yang membenci suaminya, bisa memaafkan dia.
Bagi saya, ini permintaan “gila”. Ia tahu persis bahwa saya ikut sakit bila ada yang menyakitinya. Itulah sebabnya, ia hati-hati memohon agar saya maafkan suaminya.
Lama saya memikirkan permintaanya yang sungguh tidak masuk akal. Jalan pikirannya “mengganggu” saya. Hingga suatu saat saya sempat berkirim pesan ke halaman face booknya.
“Jika kamu meminta aku memaafkan suami yang sudah menyakitimu, mungkin aku bisa, tetapi jika kamu meminta orang tuamu berbaik-baik padanya dan memaafkannya, itu sungguh keterlaluan”.
Ia tak membalas. Meskipun demikian, saya yakin ia tak bakal marah dengan kata-kata “keras” saya itu. Sejenak kemudian ada pesannya masuk. Ia bilang ia mengerti. Namun sekali lagi, ia tak mampu “memusuhi” suaminya. Ia tetap akan menolong dengan caranya, dengan semampu-mampunya. Ia tetap saja mengasihi suaminya.
Waktu berjalan biasa. Saya berpikir sangat dalam. Tentang anugerah yang tidak selalu berupa kebahagiaan tetapi justru berwujud ketidakbahagiaan.
Saya ingat pernah membuka buku kecil pemberian seorang guru. Ada satu chapter menarik. Sebuah bahasan yang luar biasa indah. Soal pemberiaan dan penerimaan hadiah. Soal “perasaan Tuhan”.
Lantas saya bercermin. Memeriksa sikap diri saya terhadap pemberian siapapun. Nampak betapa buruknya kelakuan saya. Saya memang gemar memberikan "hadiah" terbagus untuk orang yang saya kasihi. Tetapi menjadi kecewa ketika balasannya tak sepadan dengan apa yang sudah saya berikan untuknya.
Saat hendak memberi hadiah, saya perlu waktu untuk memikirkan hadiah apa yang paling bagus untuk diberikan. Namun, ketika menerima sesuatu yang tidak seperti harapan, saya kecewa dan tidak bahagia.
Buku kecil itu, sungguh berperan menyadarkan saya. Jika manusia saja memilih hadiah terbaik untuk diberikan kepada seseorang yang dikasihinya, maka bagaimana mungkin Tuhan tidak berbuat demikian?
Tuhan pasti memilih dan memberi yang terbaik untuk saya. Saya jadi berimajinasi tentang bagaimana perasaan si pemberi hadiah, ketika saya kecewa atas pemberiannya. Saya larut dalam ajaran sang guru yang mengajak berpikir tentang Tuhan, lalu kemudian masuk ke dalam “perasaan Tuhan”.
Bagaimana “perasaan Tuhan”, jika saya tidak menyukai hadiah yang pasti sudah dipilihkanNya yang terbaik untuk saya...???
Buku itu memahamkan saya. Saya mengerti akhirnya, mengapa sahabat saya itu begitu khidmat “menikmati” anugerahNya, meskipun anugerahNya “nampak seperti” tidak membahagiakan.
Kami berbincang malam itu, saling menghibur dan memilih menjadi sosok yang saling memaafkan tanpa berfikir terlalu panjang soal pemberian Tuhan. Kami sepakat bahwa Pemberian Tuhan harus diterima dengan lapang dada.
Tanpa direncanakan air mata kami menjadi tiba-tiba saja menetes bersamaan larut dengan perdebatan mendalam soal “kesyukuran”. Saya sungguh mendapat pelajaran baru. Saya berguru padanya malam itu soal kecantikan hati. Dan inilah sesuatu yang dapat saya simpulkan dari pelajaran baru itu.
"Cara sahabat menyikapi anugerahNya yang tidak membahagiakannya adalah contoh praktik sebuah pelajaran Cantik di MataNya. Dan itu pula yang membuatnya selalu cantik dan baik-baik saja. Saya kini mengerti bahwa Cantik juga “Mengerti Perasaan Tuhan”.
Terima kasih sudah membaca,
Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H