Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

STOP Menyekolahkan Dosen ke Luar Negeri

11 Maret 2012   01:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:14 2034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hentikan Saja Menyekolahkan Dosen ke Luar Negeri? Sebab hanya memberi sedikit guna kepada adik-adik bangsanya. Oh ya? Ya!

Bayangkan saja, sudah ratusan master dan doktor lulusan luar negeri, tapi tak satu pun bersedia “balas budi” dengan suka rela mengajarkan Dikti (Pendidikan Tinggi) bagaimana melakukan hal-hal sederhana seperti menghitung/memperoleh angka pasti jumlah sarjana, jumlah master dan jumlah doktor, jumlah sarjana yang menganggur dan jumlah yang telah disekolahkan ke luar negeri,

Dikti selalu khawatir soal sarjana menganggur, tapi ia tak tahu berapa persisnya jumlah sarjana yang menganggur. Ia tak tahu berapa jumlah master dan doktor yang dihasilkan oleh seluruh PT di bawah naungannya. Ia juga tidak punya data, berapa jumlah master dan doktor yang telah ia sekolahkan (ke dalam dan ke LN) dengan menggunakan dana pemerintah. Pastinya hingga saat ini sudah mencapai triliunan rupiah. Tidak percaya?

Masuk saja www.dikti.go.id, lalu cari data yang saya sebutkan. Sampai detik saya tayangkan ini, saya tidak mendapatkan data yang saya cari. Wajar jika semua orang boleh bicara soal sarjana menganggur yang meningkat dari tahun ke tahun. Menaker dan Mendiknas saja punya angka yang berbeda.

Harus bertanya kepada siapa saya? BPS? Sama saja. Bahkan nasib mereka lebih mengenaskan. Kepada Komisi XI, Suryamin, Plt Ketua BPS mengaku bahwa setiap mengajukan anggaran selalu dicoret. Ia berkata, “Jujur saja, kami masih kekurangan dana untuk membayar gaji PNS dan gaji ke-13. Tahun lalu pun, BPS terpaksa mengiba ke Kementerian Keuangan dan Bapenas untuk meminta tambahan anggaran bagi pembayaran gaji PNS (lulusan STIS tahun 2011 sebanyak 378 orang dan lulusan CPNS 2010 sebanyak 1.300). Lulusan STIS tidak ada anggaran gajinya.”

Pantas saja setiap saya ingin mendapat data melalui situs BPS, selalu saja dibalas dengan kalimat, “maaf, data yang anda maksudkan tidak tersedia”. Rupanya Gaji para CPNS “disandra”. Pantas mereka tidak begitu antusias bekerja, mencari dan melakukan entri data.

Dari pada memberi bea siswa kepada para dosen yang pulang-pulang justru tidak mengerti keadaan bangsanya, lebih baik gunakan saja untuk mendidik/melatih karyawan pemerintah agar layanan mereka kepada public menjadi lebih berkualitas. Sudah “terlalu banyak orang pintar” di Indonesia. Yang terjadi justru malah makin banyak saja masalah.

Inilah potret sebagian besar para Dosen Master dan Doktor yang sudah disekolahkan Negara ke Luar Negeri:


  1. Pulang sekolah, kembali sibuk mengajar. Kalaupun meneliti, itu karena gelarnya yang memungkinkan untuk memanfaatkan projek-projek pemerintah.
  2. Tak ada sesuatu yang baru dalam metode pembelajaran, kecuali hanya “sedikit saja” ditransfer ke dalam otak adik-adik bangsanya.
  3. Seperti tidak ada ide lain kecuali Ngerjain mahasiswa agar membuat makalah dan presentasi. Yang punya adik, yang punya anak mahasiswa (apalagi yang Pascasarjana), boleh bertanya bagaimana keadaan perkuliahan mereka. Siang malam pagi petang, mereka tidak jauh-jauh dari kesibukan membuat makalah dan presentasi depan kelas.
  4. Tidak berani berinovasi dengan kurikulum. Kebanyakan mereka, tidak lebih dari menjejalkan dan menghabiskan chapter-chapter yang ada dalam buku yang dibawanya pulang dari LN. Beruntung bagi mahasiswa yang hanya ditugasi satu chapter, tapi menderita bagi mereka yang “diperintah” membuat makalah dan mempresentasikan isi sebuah buku.
  5. Balas dendam kepada adik-adik bangsanya. “Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” Mereka bawa pulang kompleksitas literature asing yang seluruh isinya dibangun dari penelitian Negara asing. Buku-buku/jurnal yang dibawa dari LN, tak berusaha disederhanakan menjadi buku berbahasa Indonesia, lalu dibagi dalam kelas, agar adik-adik bangsanya mampu mempelajari dan mempraktikkan secara benar.
  6. Ketidakmampuan membukukan ilmu LN ke dalam bahasa Indonesia, ditutupi dengan kalimat “Menjadi mahasiswa itu tidak gampang, harus berusaha keras, tidak boleh alergi bahasa Inggris”. Saya sangat yakin, itu adalah statemen “ngeles”. Sesungguhnya mereka tak sanggup membuat buku berbahasa Indonesia berdasar materi dari seluruh ilmu yang didapat di LN.
  7. Sibuk mengajar sejalan dengan gelar barunya dari LN. Sibuk mengajarnya khusus pada lembaga mereka sendiri, yang tentu saja makin besar dan mahal seiring dengan pulangnya mereka dari LN. Apabila diundang untuk berbagi ilmu kepada PT Gurem, sudah tak lagi punya waktu, kecuali PT Gurem bersedia “mengemis” dan menyediakan honor seminar yang cukup menurut ukuran mereka. (Ini yang paling menyedihkan, tidak lagi memiliki empati)
  8. Bukan alumnus LN namanya kalau pulang-pulang tak pintar dagang ilmu dan dagang gelar, ngerjain para orang tua dan adik-adik bangsanya yang ingin menjadi sarjana, master maupun doktor.

Adakah pemerintah yang telah menyekolahkan mereka meninjau ulang kegunaan mereka? Adakah Dikti mengerti berapa harga jual mereka dan berapa harga ilmu mereka hari ini? Jika mereka sanggup melakukan itu kepada adik-adik bangsanya, apa yang bisa diharapkan dari system pendidikan ke depan?

Dan bila mereka menolak dikatakan “berdagang ilmu”, tunjukkan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Bahwa mereka mampu mencegah kelakuan Perguruan Tinggi yang selalu gila-gilaan berpesta “mencekik” rakyat, setiap tahun ajaran baru.

Salam (tetap) bahagia dan terus berkarya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun