Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

DIKTI Menampar Perguruan Tinggi "Gurem"

3 Februari 2012   22:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:05 3637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak ada yang salah dengan Surat Ditjen DIKTI soal keharusan menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal ilmiah, sebagai syarat kelulusan S1, S2, dan S3, karena konon katanya untuk meningkatkan kualitas. Meskipun belum jelas, kualitas tulisan ilmiah ataukah kualitas lulusan yang dihasilkan.

Salahnya hanya, kenapa harus 2012 dan kenapa harus Malaysia yang dijadikan cermin?

Jika yang dimaksudkan adalah kualitas tulisan (skripsi, tesis dan disertasi), maka ini sama sekali tak ada bedanya dengan pemberlakuan UNAS/UN bagi siswa SLTA. Mengukur kualitas lulusan dengan "standar aneh" (Matematika dan beberapa temannya). Tak lulus UNAS lalu (oleh masyarakat), dianggap tak berkualitas.

Tidak ada salahnya membuat aturan atau kebijakan atas seluruh PTN/PTS, tetapi ada halyang perlu direnungkan kembali:


  1. Pernahkah para pejabat sebuah lembaga terhormat yang namanya DIKTI itu turun ke"lapangan becek tidak berrumput"?
  2. Pernahkah para pejabat DIKTI berkunjung, bertamu, mengetuk kandang-kandang (baca: kampus) PT Gurem, melihat dengan mata keadaan mereka, mendengarkan dengan kedua telinga mereka, bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mereka?
  3. Kalau pernah, kapan dan berapa kalikah dalam setahun? (Bila pernah, maka hari ini, tidak akan muncul "kebijakan aneh" seperti tersebut di atas)

PT Gurem. Demikian Koran-koran itu, sering menyebut PT kecil-kecil, yang jumlah mahasiswanya tidak begitu berlimpah dan tertatih menghidupi dirinya sendiri, demi menjalankan pendidikan tinggi bagi mahasiswanya. Mereka hidup dari SPP mahasiswa, dimana para dosennya di sana sangat-sangat penuh pengabdian dalam bekerja.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mereka (para dosen) mencoba membuat usulan-usulan penelitian (project) yang didanai oleh DIKTI, namun berapa banyak "jumlah usulan" mereka itu disetujui? Jangankan disetujui ditoleh/disentuh saja barangkali tidak, hanya karena PT Gurem ini tidak dikenal di Jakarta, tidak dikenal olehreviewers. Kalau pun sedikit samar pernah didengar, proposal itu dikembalikan dengan memberitahukan "alasan penolakan". Titik. Tanpa ada pengarahan dan bimbingan kelanjutannya. (Diperbaiki terserah, tidak pun bukan urusan saya!).

Pernahkan dievaluasi dan diinformasikan kepada PT Gurem, siapa-siapa yang selalu memenangkan project riset, siapa-siapa yang sudah berulang mengirimkan proposal namun selalu saja tidak pernah menang, serta siapa-siapa yang belum sama sekali pernah berpartisipasi dengan "dana pendidikan (project)" itu? Sekali lagi, diinformasikan barangkali sudah, tetapi ditindak lanjuti untuk mengangkat, mengedukasi "para gurem"?Saya tidak yakin.

Yang saya tahu, sepertinya para pejabat DIKTI merasa jijik menginjakkan kakinya pada kandang-kandang (kampus-kampus) PT Gurem, yang bertebaran di seluruh pelosok negeri ini. Mereka cenderung lebih gemar menginjakkan kakinya pada lantai porselin/marmer yang mengkilat, PTN-PTN yang "terlihat hebat dan berkualitas" dari bungkusannya. Jelas mereka bisa "terlihat hebat" sebab mereka disupport oleh Negara. Mereka bisa memanfaatkan dengan mudah dana pendidikan untuk pengembangan segala sesuatunya di dalam kampus.

Para pejabat itu, lebih suka memercayai para koordinator kopertis, dari pada harus berkotor-kotor menginjakkan kaki dan sepatunya pada Lumpur sawah PT Gurem. Jika bersedia lebih jeli, beberapa alumni PT-PT yang diagung-agungkan dan diperhatikan sepenuh-penuhnya itu, mereka memang mempunyai prestasi yang sangat sangat menonjol, namun untuk hal-hal yang tidak menggembirakan (jika tak mau disebut memprihatinkan).

Tidak percaya?

Mari kita telisik Negeri penuh masalah ini dipimpin oleh alumni mana? Pelajari saja lembaga-lembaga yang ada di negeri ini, dari kementrian keuangan hingga pendidikan, dipimpin dan dipenuhi oleh siapa, dan mereka alumni Perguruan Tinggi mana? Pendidikan yang kaya KKN dan masalah ini, dipimpin oleh alumni PT mana?

Apa masih kurang bukti bahwa saatnya menginjakkan kaki pada Lumpur sawah yang masih bersih, turun ke lapangan melihat, mendengarkan, memeluk dan mengedukasi mereka bagaimana membuat dan menghasilkan sesuatu yang baik.

Tidak bermaksud memandang rendah, kecuali membuat kita semua bersedia belajar bercermin diri. Saya pernah membayangkan, apakah seorang Rektor sebuah kampus dimana pimpinan negeri ini pernah kuliah, mampu memanggil seorang pimpinan negeri ini, sebagai "seorang anak yang pernah dikandungnya" (alumni) dan bertanya:

"Anakku yang sedang memimpin negeri ini, apa kesulitanmu? Apa yang bisa kami Bantu? Mengapa adik-adikmu dan bahkan rakyat jelata menjadi "semakin liar" seperti ini, justru ketika engkau yang memimpin, anakku? Janganlah begitu cara memimpin..., barangkali perlu seperti ini...., sebab engkau anakku, membawa nama almamatermu kemana-mana..."

Juga para Rektor PT-PT yang selalu diagung-agungkan, dipuji-puji dan disimbahi dana-dana berlimpah lewat ragam project. Pernahkan mengundang hadir kembali di kampusnya, sebagai anak, sebagai alumni (bukan pejabat), untuk "menjewer" telinga alumninya ketika lembaga yang dipimpinnya justru penuh dengan orang-orang yang gemar korup?

Maka wahai DIKTI,

Berhentilah sejenak berkelana dengan kebijakan-kebijakan baru, yang jauh panggang dari api. Fokus saja dulu pada kualitas internal para pendidik. Jika para pendidik berkualitas, maka lulusan akan mengikuti. Jika kebijakan baru wajib publikasi karya ilmiah pada jurnal ilmiah itu dianggap sebagai upaya mendidik, tunggu saja bahwa sebentar lagi, akan muncul kasus sogok menyogok bagaimana agar tulisan mereka dapat dimuat pada jurnal ilmiah. Ini pasti terjadi.

Saatnya injakkan kaki pada lumpur sawah PT-PT Gurem, lalu bimbing mereka. Penting bagi para pejabat merasakan kemiskinan dan ketidakberdayaan PT-PT Gurem. Sebab, itulah sebenar-benarnya pekerjaan! Bukan mengurusi mereka yang sudah mampu berdiri sendiri. Itu tidak lagi perlu. Menjabat adalah menyelesaikan persoalan yang perlu diselesaikan.

Juga tak kalah pentingnya, kini saatnya merenung kembali dalam-dalam. Sudah saatnya sejenak berhenti membanding-bandingkan PT di Indonesia dengan Asing, apalagi dengan Malaysia. Masih kurang contoh pengalaman menderita gara-gara mengadopsi segalanya dari Asing?

Negeri ini amburadul karena kita gemar terlalu percaya pada Asing. Kita terlalu mengagung-agungkan literature asing yang belum tentu cocok bagi negeri sendiri. Kita terlalu mendewakan model pendidikan asing.

Sudahlah! Berhentilah berkelana! Hormati kemampuan puluhan ribu para guru di negeri sendiri, yang lebih mengerti negerinya dari pada "guru-guru asing" yang tidak sepenuhnya mengenal dan mengerti dengan baik Indonesia. Para guru dan dosen di Indonesia, mereka cukup mengerti Indonesia dan cukup punya potensi untuk mengelola diri dan negerinya sendiri untuk menjadi lebih baik. Jangan tidak dipercaya pada kemampuan bangsa sendiri! Ini menyedihkan!

Salam bahagia (meskipun sedang "sakit")

- Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun