Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Birrul Waalidain, Sisi Lain Praktek Self Leadership

18 Maret 2011   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:41 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak buku mengajarkan kiat sukses, tetapi satu hal yang mampu menarik hati saya untuk mendalaminya adalah faktor " bhakti kepada orang tua". Sebuah buku karakter building, pernah secara ekstrim menasehatkan kepada saya, agar mencuci kaki bunda saya dan meminum air bekas cuciannya. Kemudian, guru saya yang lain, mengajarkan agar saya menyukai menciumi kaki bunda saya, memohon maaf dan meminta restu dalam menjalani hari-hari.

Pada saat yang lain, saya memperhatikan kehidupan seorang kawan. Ia termasuk orang sukses yang rendah hati. Minimal, di mata saya dan kawan-kawan dekat. Saya pun iseng bertanya tentang rahasia suksesnya. Ia berkisah, bahwa, meminta maaf, meminta restu, mencium dan mencuci kaki bundanya, kemudian menggunakan air bekas cucian itu untuk keramas, adalah kegiatan rutin yang dilakukan setiap kali pulang kampung. Pada saat yang lain lagi, saya menyaksikan tingkah laku seorang artis belia. Ia juga masuk dalam kategori sukses. Mencuci kaki bundanya pada dini hari, tepat pada perayaan ulang tahunnya, rupanya juga menjadi habit (kebiasaan) baginya.

Saya tidak berceramah, tetapi saya sedang ingin berbagi. Jika sebelumnya, apa yang saya tulis tentang formula kepemimpinan yang 30/30/20/20 itu menginspirasi kita soal bagaimana bertindak dan memimpin orang lain, maka sekarang ini saya sedang ingin berbicara tentang self leadership, kepemimpinan diri.

Salah satu praktik memimpin diri adalah berupaya melembutkan dan melunakkan segala bentuk rigiditas (kekakuan) yang terdapat dalam diri. Apapun itu, rigiditas otak dan pemikiran, rigiditas hati, rigiditas kepala beserta isinya, rigiditas tubuh secara fisik, pokoknya, semua bentuk kekakuan.

Bersujud, mencium kaki bunda/orang tua, meminta maaf, meminta restu, merendahkan diri dan hati secara menyeluruh (totally), adalah sebuah praktik meniti jalan kesuksesan. Sukses memimpin diri yang rigid akibat kontaminasi banyak faktor diluar diri.

Bukan me_nuhan_kan orang tua, akan tetapi jauh lebih substantif adalah bentuk implementasi  konsepsi "birrul waalidain" (berbakti kepada orang tua). Itu adalah bunyi sebuah hadist, yang saya sangat tertarik untuk merenungkannya. Bunyi lengkapnya begini, "Ridho Allah terletak pada ridho orang tua dan murka Allah terletak pada murka orang tua." (HR At Tirmidzi)

Seandainya, saya tidak bertemu melalui face book dengan salah seorang alumni, yang sekarang ini sudah berhasil menjadi "orang", mungkin tulisan ini belum akan sampai kepada anda.  Ia adalah sosok yang meyakini bahwa birrul waalidain, mampu membantunya mengatasi segala macam persoalan, hidup dan karir.

Kebenaran hadist itu diyakini kaum muslim, namun saya juga sangat yakin bahwa dalam kacamata pluralis dan penganut universalitas, birrul waalidain (berbakti kepada orangtua) adalah juga merupakan sebuah keniscayaan dalam perjalanan merintis kesuksesan.

Inilah dialog saya dengan seorang alumni itu dengan segenap pengakuannya. A adalah kependekan dari alumni, dan S adalah saya.

A(menyapa):
Pagi, mom....

S          :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun