[caption id="attachment_323311" align="aligncenter" width="565" caption="SUASANA LIPONSOS - Penghuni barak A (psikotik laki-laki) di Pondok Sosial Liponsos Keputih Surabaya (Tribunnews.com) "][/caption]
Semalam ia datang lagi konsultasi soal laporan KKL (Kuliah Kerja Lapangan)-nya. Biarlah saya menyebutnya, ia. Seorang pemuda, lebih 10 tahun mengurus psikotik (penderita kejiwaan ) di pondok sosial. Seperti biasanya, ia melanggar pertemuan-pertemuan yang kami sepakati, sebab pasien-pasien psikotik itu, lebih penting dibanding saya dan kuliahnya.
Pertama kenal, ia mengikuti mata kuliah saya. Saya selalu bertanya kepada mahasiswa soal pekerjaan mereka dan mengapa menjadi sarjana begitu pentingnya, sehingga mereka bela-belain bekerja sambil kuliah. Alasan intinya adalah ingin karirnya meningkat setelah nanti beroleh gelar. Perusahaan, instansi, dan kantor-kantor, kebanyakan mendasarkan penggajian dan jenjang karir pada gelar-gelar tersandang
Suatu ketika, usai menyaksikan ia diwawancara oleh TVRI tentang bagaimana ia menangani pasien, saya menyapanya:
“Hai! Kok saya lihat kamu di TV kemarin? hebat!”
Ia hanya tersenyum. Bicaranya sangat datar.
Lama tidak ketemu, dua-tiga bulan belakangan, saya melihatnya kembali di kampus.
“Loh, kamu bukannya harusnya sudah lulus?”
“Iya..bu, harusnya. Faktanya belum, hehe.. Saya ingin bicara dengan ibu...minggu lalu saya berupaya menemui ibu, tapi ibu sudah pulang ...”, kisahnya.
“Duduk...”, kata saya.
Lama ia duduk, sulit untuk memulai pembicaraan.
“Ada apaaa...? Saya masih nda habis pikir kenapa kamu bisa tertinggal dari kawan-kawanmu..?”, saya mulai memancing bicaranya.
“Itulah bu.., itu yang saya ingin ceritakan pada ibu. Sudah lama saya ingin curhat pada ibu, tapi selalu saya batalkan. Saya pikir, tak pantas saya mengeluh soal ini. Biarlah kuliah saya terlambat seperti ini, biarlah sak mlaku-mlakune (mengalir). Saya jalani saja...saya juga nda tahu kapan bakal selesai. Tapi alhamdulillah, tinggal KKL dan kuliah pak C, yang belum lulus. Masalah saya, saya sudah tidak tahan dan harus minta saran kepada ibu, apa yang harus saya lakukan?”, jawabnya atas desakan saya.
Ia lalu bercerita, bahwa sejak hari pertama hingga jelang UTS, sama sekali tak pernah hadir dalam perkuliahan pak C. Ia mengaku selalu ada pasien, yang harus ia antar ke RS dan urus administrasinya. Ia bilang selalu berupaya ke kampus, biar malam semalam apa. Tapi selalu ada “panggilan”.
Suatu malam hampir ia masuk gerbang kampus, tiba-tiba ada berita harus balik kantor, sebab ada pasien yang harus diantar ke RS.
“Psikotik hamil, bu. Saya harus bawa ke RSUD, ditemukan di jalan saat patroli...menderita kanker (apa saya lupa). Ketika sudah agak tenang, saya tinggal sejenak urus administrasinya. Saya balik terkaget-kaget. Sebab darah campur nanah yang berupaya dikeluarkan oleh dokter melalui selang, habis ia minum”, kisahnya membuat saya miris.
Saya menarik nafas panjang. Pikiran saya berisi macam-macam, termasuk upaya keras bagaimana saya bisa menolong mahasiswa yang sebagian besar waktu dan hidupnya juga dihabiskan untuk memperhatikan orang-orang yang menderita.
“Berapa kapasitas pondok?”
“Enam ratus..”
“Berapa penghuni di sana?”
“Lebih seribu...”
“Hah?!”
(Ia hanya tersenyum datar melihat saya kaget)
“Pasien datang dari mana?”
“dari jalanan, hasil patroli...”
“Semua gangguan kejiwaan?”
“Tidak semua, tapi selalu ada hampir setiap hari...”
“Berapa orang bersama kamu merawat mereka?”
“Lima ...”
“Hah?!” Lima orang?!”
“Iya bu, itulah sebabnya saya tidak lulus-lulus kuliahnya karena saya sering sekali bolos”
Ia lantas bercerita tentang keluarga pasien yang tidak mau menerima kembali meskipun pasien dinyatakan sudah sembuh. Juga tentang pasien yang tidak diketahui asal-usulnya yang didapat dari hasil patroli satpol.
Semalam ia datang lagi untuk konsul bab I laporannya. Saya ingin mendengarkan kasus apa lagi yang dihadapi selama 2 minggu tidak bertemu saya.
Ia berkisah tentang lelaki yang baru saja diantarnya ke RS gara-gara pergelangan tangannya bengkak. Saat ditemukan di jalanan, lelaki ini dalam keadaan rambut gimbal, banyak kutu susah dishampo hingga terpaksa menggunting rambutnya. Ada sekitar 50 karet gelang di tangannya. Saking lamanya terlilit pada pergelangan tangannya, karet-karet itu menyatu dengan daging, tertutup daging pergelangan tangannya.
Waktu bertanya mengapa ia yang harus menggunting gelang-gelang karet yang sudah masuk dalam daging itu, ia jawab bahwa pekerjaan-pekerjaan seperti itu sudah menjadi pekerjaan biasa dan mereka di sana memang diajari hal-hal seperti itu. Di pondok, tidak ada dokter, yang ada hanya semacam mantri, itupun tidak setiap hari ada. Kasus lain yang ia harus antar ke RS adalah lelaki yang separuh penisnya growak (habis) dimakan penyakit. Ia temukan ketika memandikan, dilihatnya celananya berdarah.
“Mereka tidak kesakitan?”
“Tidak.., itulah hebatnya mereka...mereka tidak merasakan sakit walau sakit parah”.
Saat saya sudah mengoreksi hasil tulisannya, saya bilang bahwa saya harus melakukan sesuatu untuk dia, saya harus menulis tentang keadaan yang tidak tersentuh ini, agar pejabat-pejabat itu membaca dan lalu bertindak seharusnya. Ia melarang saya menulis, sebab ia takut. Selama ini ekspose yang keluar adalah bahwa instansi tempat dia bekerja baik-baik saja dan no problem.
“Saya hanya ingin satu hal. Saya dan teman-teman saya didaftarkan untuk ikut BPJS. Ibu...saya tidak tahu apakah saya ini sehat atau sudah berpenyakit. Juga teman-teman saya yang lima orang yang ada di level paling bawah ini. Tiap hari kami dihadapkan pada penyakit. Apa yang kami hadapi di pondok hanyalah penyakit. Kegilaan, TBC, kanker dll adalah 'makanan harian' kami. Kala ada teman-teman saya sakit atau pensiun karena usia, tak ada perhatian layak dari mereka (maksudnya atasan). Namanya manusia, kan tidak mungkin sehat terus ya bu, pasti ada sakitnya...Saya berharap, kami diberi BPJS...sebab tiap hari kami bergelut dengan penyakit”.
Itu adalah separagraf harapannya. Ketika saya tanya apakah bu Risma pernah ke sana. Ia bilang pernah, tapi itu dulu sekali.
“Apa bu Risma hanya bicara dan ketemu dengan atasanmu?”
“Tidak! Bu Risma bicara dengan kami, petugas pada level bawah...”
“Lalu?”
“Ya...mungkin bu Risma lupa karena itu sudah duluuuu...dan mungkin karena memang banyak yang harus diurus bu Risma ya bu...”
“Iya, banyak memang urusan yang harus diurus bu Risma...”
Usai menyarankan beberapa perbaikan, saya memintanya untuk terus menulis lanjutan laporan KKL-nya. Sepanjang perjalanan pulang, saya berdoa agar Tuhan melindunginya, bersama kawan-kawannya dan semua yang ada di pondok.
Bagi saya, ia dan kawan-kawannya sudah sarjana meskipun tidak satupun masyarakat melihat mereka menyandang gelar. Gajinya sesuai UMK untuk seluruh pekerjaan yang tidak ada batas waktu. Dua juta dua ratus tanpa asuransi kesehatan. Ia tidak menyalahkan pimpinan atau siapa-siapa. Gaji sebesar itu memang pantas bagi buruh yang belum sarjana. Tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin asuransi kesehatan sebab bergulat dengan penyakit. Bila nanti jadi sarjana, ia ingin naik karir agar bisa berbuat lebih banyak bagi pasien-pasiennya. Utamanya, penderita psikotik yang terbuang. Makin bergelar, mana mau menyentuh hal-hal “menjijikkan” macam begini? Termasuk saya, tidak tahu apakah bakal tahan dan tatag.
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah Yang Maha Pelindung. Terima kasih bagi semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H