Perayaan 9 tahun revolusi Prancis, tepat pada saat itu, Napoleon sedang memimpin invasi ke Mesir. Keberhasilannya dalam menggagalkan perlawanan revolusioner dan serangan dari pasukan koalisi asing, membuat Napoleon semakin percaya diri untuk berekspansi. Napoleon berhasil menyatukan garnison untuk melindungi Prancis. Sementara itu, pucuk lembaga Eksekutif -dikuasai oleh Teknokrat kolot yang berkolaborasi dengan Royalis. Sehingga mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, paska revolusi 1789. Infiltrasi kaum borjuis dalam parlemen adalah upaya comeback untuk balas dendam. Perebutan kekuasaan antara golongan revolusioner (republikan) dan royalis melahirkan kerusuhan sosial tanpa henti. Prancis memasuki periode Teror. Dimana antara satu kelompok dengan kelompok yang berseberangan melancarkan aksi saling bunuh.
Belum lama berada di Mesir, Napoleon diperintah oleh Parlemen untuk menjaga keamanan Paris dari rongrongan revolusioner militan le Parisien, yang sering melakukan amuk dan rusuh. Alhasil, gedung parlemen berpindah dari Paris ke Saint-Cloud, agar penyusunan RUU kondusif. Beberapa legislator mengundurkan diri sebagai simbol protes atas "keras kepalanya" kubu Jacobins (teknokrat cerdik-pandai). Perlahan tapi pasti, para kubu pembelot, seperti Sieyès et Ducos, menyiapkan rencana untuk menggulingkan Directoire. Sieyès dan Ducos dari dalam mengajak Jenderal Napoleon untuk mengambil-alih eksekutif. Peristiwa di istana Saint-Cloud tersebut dikenal sebagai kudeta 18 Brumaire (9 November 1799). Napoleon membawa masuk beberapa pasukannya untuk "melerai" perpecahan antar deputi di ruangan Salle de Cinq Cents, namun malah membuatnya melakukan intervensi terlalu dalam dengan membubarkan Directoir dan mengganti Consulat, dimana Napoleon, Sieyès dan Ducos menjadi pemegang Konsul Prancis. Dari sinilah, selanjutnya, Napoleon mengikrarkan diri sebagai Kaisar Prancis (Premiere Empire).
Napoleon adalah Jenderal La Grande Armée (Prancis menganggap pada periode itu pasukan militer mereka adalah yang terhebat di dunia). Sebelum proyek penjarahan besar-besaran di Mesir, Napoleon sudah berhasil memenangkan beberapa pertempuran pemberontakan di Korsika (tanah lahir Napoleon), Toulon dan Italia Utara. Kemenangan beruntun tersebut, menunjukkan kejeniusan seorang kutu buku dalam seni berperang. Karir militer Napoleon sempat gagal di Paris, seandainya dia tidak ikutserta dalam peperapangan di Prancis Selatan. Dari sana, prestasi dia melejit, sehingga membuat pasukan Prancis menjadi yang terhebat daya tempurnya pada saat itu. Berkat Napoleon, wilayah Prancis aman dari gangguan invasi koalisi asing. Kehebatan Napoleon, tidak hanya di medan tempur saja, tetapi juga dalam dunia arsitektuk, seni dan juga pemikir konstitusi. Dia adalah penyusun konstitusi code civil Prancis yang dikenal saat ini. Dia menciptakan peralatan perang, pakaian, asesoris yang modis dengan rupa topi dan ransel punggungnya. Napoleon juga membuat banyak kastil yang megah, dilengkapi dengan perpustakaan yang besar. Dengan segala "megalomanianya", Napoleon berhasil mempersenjatai Prancis secara fundamentel yuridis untuk menghadapi modernisasi dan terutama dinamisasi geopolitik. Alhasil, Napoleon dianggap sebagai satrio piningit sekaligus messiah.
Michel Platini sebagai pemain sepakbola, dia adalah salah satu yang ter-jenius di zamannya. Prestasi di lapangan hijau, sudah membuktikan segalanya. Segala turnamen sudah dia menangkan. Dia juga jenderal lapangan tengah sekaligus kapten. Meskipun gagal berkarir sebagai pelatih, bakat kepemimpinan Platini membawanya sebagai wakil ketua FFF (PSSInya Prancis) dan Presiden UEFA sejak 2007. Dia berhasil menggulingkan "ditaktor" Swedia Lennart Johansson yang duduk sebagai presiden selama 17 tahun. Sepakbola membuat betah setiap pemimpinnya.
2 Juni 2015, Presiden terpilih FIFA Joseph Blatter mengumumkan pengunduran dirinya. Pengumuman tersebut, dilakukan 4 hari setelah menerima mandat kelima kalinya sejak 1998. Sempat menolak mundur diawal, pers menghembuskan tuduhan kolusi ditutupi oleh kolusi yang lain. Mendung hitam di atas langit Federasi Sepakbola Dunia itu. Sejak Sepp Blatter berkuasa, lambat laun, korupsi semakin kentara. FIFA menjadi incubator bagi "raja-raja" kecil di negara-negara dimana sepakbola masih dikuasai politikus. Beberapa kali, Sepp Blatter hendak digulingkan oleh bangsawan Arab. Tetapi, setali tiga uang, calon dari Arab tersebut malah tersandung permainan uang. Hal ini menunjukkan bahwa secara internal terjadi saling jegal, untuk berkuasa.
Satu-satunya prestasi Sepp Blatter adalah berhasil menduniakan sepakbola (membawa panggung piala dunia di Korsel-Jepang, Afrika Selatan dan Brazil). Meski, sangat disayangkan, skandal korupsi senantiasa mengikuti, terutama saat penyelenggaraan Piala Dunia di Afrika Selatan dan Brazil. Di Indonesia, FIFA menularkan efek buruknya, pengurus PSSI merasa kebal hukum dan anti-reformatif, sehingga korupsi benar-benar menjadi pemandangan sehari-hari. Like father, like son. Sepakbola menjadi insklusif dan hanya milik oleh satu kelompok. Sepakbola di tangan FIFA sudah memasuki periode kegelapan.
Sebaliknya, di tingkat Eropa, yang dinahkodai oleh "Jenderal" Michel Platini, UEFA menjelma menjadi insitusi solid dan fair play. Platini memiliki barisan pendukung loyal, bukan karena politik permainan uang, melainkan karena tranfer ideologi dengan cerdas dalam mengakomodir setiap kepentingan anggotanya. Untuk kedua kalinya, Platini terpilih secara aklamasi karena dukungan mayoritas 53 federasi sepakbola eropa. Davor Suker, mantan pemain Real Madrid, presiden federasi sepakbola Kroasia berkomentar bahwa Platini merupakan seorang pemimpin yang komplet. Dia visioner, revolusioner, konseptor, administrator dan inovator. Secara bisnis, UEFA memiliki omset komersial senilai € 7,6 milyar (FIFA hanya € 5,72). Pertanyaan besar, FIFA yang memiliki 206 federasi, dalam 5 benua (diluar Eropa) memiliki pemasukan lebih kecil dibanding satu benua Eropa. Sepakbola harus segera diselamatkan dari cengkraman golongan oligarki kolot dan serakah.
Beberapa minggu sebelum pemilihan presiden FIFA di Zurich, Michel Platini sudah menyampaikan agar Sepp Blatter menarik diri dari pencalonannya. Lalu, terjadilah, penangkapan pejabat tinggi FIFA oleh pengadilan Swiss dengan tuduhan korupsi. Platini pun kembali bersuara agar Blatter mundur. Bahkan UEFA akan keluar dari FIFA jika Blatter tidak mundur. Yang paling kasian adalah Pangeran Jordan Ali Bin Al-Hussein yang merupakan pesaing Blatter, menjadi pesakitan paska mundurnya Blatter. Bahkan dia tidak populer untuk menggantikan Blatter. Padahal dia pesaing utama di tingkat dunia. Seperti Napoleon, Platini sangat cerdas dalam membaca momentum. Membiarkan kelompok yang suka main uang saling beradu (Blatter vs Pangeran Jordan). Lalu, Platini menyiapkan "pasukan" khusus untuk melakukan kudeta istana Zurich pada akhir tahun 2015.
Selanjutnya, apa yang akan terjadi?
Sangat jelas sekali, UEFA merupakan model tatanan adminitrasi yang paling ideal dalam manajemen sepakbola modern. Perangkat hukum UEFA berani bertindak tegas. Platini adalah orang yang tepat untuk memimpin FIFA dalam tranformasinya mejadi lembaga yang bersih. Di tangannya, maka FIFA akan berbenah diri. Platini akan memimpin FIFA meskipun secara hitung-hitungan, UEFA hanya punya suara 53, tetapi intelektualitas Platini mampu menjaring sisa suara 206 di luar Eropa. Jika gagal pun, Platini sudah menyiapkan kartu truf : ancaman bahwa UEFA akan menjaga jarak dengan FIFA. Hal ini menjadi lobi sens-unique (satu arah) dari sisi "reformasi FIFA". Saya akan menyebut Pertemuan Luar Biasa FIFA pada bulan Desember, sebagai kudeta Nivose aux chateaux Zurich, untuk menyamakan peristiwa pengambil-alihan "kekuasaan" ala Napoleon oleh Platini. Benar-benar tipikal Prancis dalam menyebarkan savoir-faire mereka.Â
Â