Fabel
Dalam kitab Jataka-Avadana, saya pernah membaca sebuah relief cerita binatang yang menceritakan sebuah binatang Kura-kura, sang penyelamat manusia dimana kapalnya tenggelam, bahkan setelah sesampainya ke daratan, melihat manusia tersebut kelaparan, Kura-kura tersebut menawarkan dirinya untuk dimakan, agar manusia tersebut hilang lapar-dahaganya. Kisah tersebut ada di dinding Candi Borobudur dalam susunan Kisah Jataka-Avadana.
Bagi saya, kisah binatang bukan hanya sekedar cerita pengantar tidur atau cerita yang memperbolehkan fiksi menjadi semakin tak masuk akal, dengan diadegankan oleh para binatang. Sebagian berpikir bahwa cerita binatang sekedar untuk hiburan atau mencari pembenaran alasan dengan dasar simbolisasi.Bagi Phedre fable itu bermakna ganda : membuat lelucon dan menasehati dengan penuh kehati-hatian (Le mérite de la fable est double : elle suscite le rire et donne une leçon de prudence). Bapak fable modern yang berangkat dari zaman pencerahan, Jean de la Fontaine, mempertajam makna fable sebagai pesan moral philosofis. Dalam kisahnya yang berjudul "Le Poisson et Le Pecheur" (Ikan dan Pemancing), dia menulis "Petit poisson deviendra grand" (Ikan kecil kelak tumbuh besar). Tampaknya sekilas kalimat itu terbaca biasa saja, tetapi jika dirasa dan didialogkan dengan "pemangsanya" yaitu pemancing. Ikan kecil tersebut mewakili sebuah "jiwa", bukan sekedar nyawa dalam kehidupan banal. Voltaire, Bapak Toleransi dan Kebebasan zaman pencerahan Prancis, pun bertestimoni mengenai fabel sebagai belahan jiwa dari cerita.
Kali ini, saya akan memposting satu cerita fabel yang ditulis beberapa bulan silam. Saya menyukai cerita fabel sebagai seni dalam mengutarakan filsafat dasar dan saya sedang belajar menulisnya. Saya menyakini bahwa setiap permasalahan manusia yang belum tuntas dapat ditemukan solusinya dari perilaku binatang. Binantang merupakan individu mono-karakter, yang tentu saja mempunyai satu permasalahan saja, entah itu kecil dan atau besar. Sebaliknya, manusia merupakan makhluk bipolar dimana masalahnya selalu tumbuh subur karena "keragaman-karakter" tersebut. Dalam satu titik, sisi dan arah, binatang lebih konsisten, sehingga memberikan moral baik kepada manusia untuk berupaya menjalani permasalahan sampai ketemu solusi, -bahwa dari satu masalah, hanya ada satu cara, yaitu berpikir fundamental dari karakter yang dipunyai. Soal waktu, binatang mengajari manusia arti tentang "kepasrahan". "Dari tangan penrajinlah, kita mengenal maha karya seni", demikian Jena de la Fontaine menggambarkan binatang-binatang tersebut adalah "seniman.
*******
Fabel : Tupai dan Tebakan Kancil
Seperti biasa, setelah lelah bekerja di ladang di bawah terik matahari Pak Tani suka beristirahat di bale sederhana yang terletak di dekat ladangnya. Di ladang itu Pak Tani menanam berbagai macam sayuran. Ada kacang panjang, lobak, dan timun. Sayuran-sayuran itu tumbuh dengan subur karena Pak Tani merawatnya dengan baik. Kacang panjang berwarna hijau menjuntai terihat di sisi petak ladang bagian barat. Jejeran lobak membelah ladang di bagian tengah. Timun yang ranum pun berada di sisi timur dekat pagar yang berbatasan dengan hutan. Menjelang musim panen biasanya Pak Tani tidak bisa tidur siang bahkan hanya sekadar merebahkan diri. Pak Tani harus selalu siaga menjaga sayuran yang siap panen agar tidak dimakan hewan-hewan yang tinggal di hutan. Tapi, siang ini memang begitu terik sehingga Pak Tani pun terlelap di atas bale sederhananya ditemani angin sepoi-sepoi.
Sementara itu, di sebuah jalan setapak di hutan tampaklah seekor Kancil. Tak seperti biasanya, yang gesit berlari ke sana ke mari, Kancil tampak berjalan pelan menyusuri jalan setapak. Rupanya, Kancil sedang kelelahan setelah seharian membantu ibu Gajah mengisi kolam untuk mandi si anak Gajah. Ibu Gajah terluka di bagian kaki sehingga ia tak bisa mengangkut air. Dengan tulus, Kancil mengangkut air dari sungai menuju kolam. Karena kelelahan dan belum makan dari pagi, Kancil merasakan lapar yang sangat. Perutnya sampai berbunyi keroncongan. Kancil mengelus-elus perutnya yang keroncongan sambil berpikir, “Di mana ya aku bisa mendapatkan makan siangku?”. Kancil lalu teringat ladang Pak Tani di dekat perbatasan hutan. Karena girang dengan idenya dan bayangan akan sayuran yang ada di ladang Pak Tani, Kancil pun berlari kencang. Namun, kagetlah Kancil. Sesampainya di ladang, Kancil melihat segerombolan Tupai tampak sedang memakan timun dengan lahapnya. Tupai-tupai berpesta memakan timun-timun ranum yang tumbuh di sisi timur ladang dekat hutan itu. Mereka tidak menyadari kehadiran Kancil. Pada saat itu mendekatlah kancil menuju gerombolan Tupai kemudian berkata:
“Hai, Tupai. Siapa namamu?”
Sambil tetap mengunyah timun dimulutnya, satu ekor Tupai berwarna coklat dengan ekor keemasan menengok ke arah Kancil. Ia menatap Kancil dengan waspada. Kemudian Tupai coklat dengan ekor keemasan itu malah bertanya:
“Kamu Kancil, kan?”
Kancil bergeming. Pandangan matanya menuju ke arah timun ranum hijau besar yang dipegang Tupai coklat berekor keemasan. Kancil bertanya lagi:
“Hai, Tupai. Kenapa kamu makan timun?”
“Bukankah kamu seharusnya makan kelapa di atas sana” lanjut Kancil sambil mengarahkan tangannya ke atas menuju ke arah pohon kelapa yang berada tak jauh dari situ. Tupai ekor keemasan pun mengarahkan pandangannya ke pohon kelapa. Mengetahui salah satu temannya tidak lagi mengambil timun, gerombolan Tupai lainnya menghentikan aksinya memakan timun dan mulai menyimak Kancil. Mereka berdiri mengelilingi Kancil.
Maka Kancil pun berkata:
“Hai, para Tupai. Kalian kan tahu kalau timun itu adalah makananku.”
Tupai dengan bulu coklat bergaris putih bersuara penuh selidik. “Lantas, kenapa?” tanyanya.
Dengan tenang dan tanpa ragu Kancil pun menjawab:
“Begini. Aku beri tebakan. Jika kamu bisa jawab, kamu dan teman-temanmu boleh makan kelapa dan timun itu sepuasnya. Aku berjanji, aku tak akan makan timun lagi seumur hidupku.”
Para Tupai termasuk Tupai ekor keemasan nampak berpikir. Tiba-tiba Tupai coklat bergaris putih bersuara lagi.
“Bukankah kita bisa berbagi timun di satu ladang ini?”
“Ya…Ya…Ya…” Terdengar riuh sahutan pertanda setuju dari teman-teman Tupainya yang lain.
Kancil menggeleng.
“Tupai yang baik, bukankah kalian tahu, bahwa tak ada dua dalang dalam satu kisah?” seloroh Kancil.
Akhirnya, Tupai menyetujui keinginan Kancil.
“Baiklah. Apa tebakannya?” tanya Tupai ekor keemasan.
Kancil pun bersemangat. Ia pun meminta para Tupai menyimak tebakannya dengan baik.
“Tebakanku adalah lebih cepat mana, dengan gigi depan atau gigi belakang jika kita makan timun?”
Itulah tebakan Kancil. Tupai ekor keemasan yang menjadi juru bicara para Tupai memutar otaknya. Ia melirik temannya yang masih makan timun, mengunyah dengan gigi bagian depan. Tapi dia masih belum yakin. Dia belum pernah melihat teman-temannya memakan timun dengan gigi belakang. Bisa saja lebih cepat kan? Nah, kalau tebakan si Tupai salah maka timun-timun ranum itu akan jadi milim Kancil. Tupai tak mau hal itu terjadi. Maka ia pun tetap memeras otaknya untuk memberikan jawaban yang tepat. Melihat Tupai tak segera menjawab, Kancil pun bertanya lagi.
“Cepat mana?”
Bingung. Akhirnya Tupai ekor keemasan menjawab.
“Susah betul tebakanmu, Cil.”
“Apakah kau mau membantuku mencari tahu jawaban tebakanmu?” tanya Tupai kemudian.
“Oh. Kau mau bantuan? Boleh saja.”
“Aku beri tahu caranya. Kau kasih timun kepada orang yang sedang tidur di sana.” Tangan Kancil menunjuk ke arah bale sederhana di tengah ladang dekat sayuran lobak, tempat di mana Pak Tani sedang tertidur nyenyak.
“Lalu, minta dia memakannya dan lihatlah cara dia makan. Apakah lebih cepat atau lebih lambat. Perhatikan pula gigi mana yang dia gunakan.” lanjut Kancil.
Tanpa berpikir lebih lanjut maka meloncatlah Tupai ekor keemasan mendekati Pak Tani yang sedang tidur sambil membawa timun. Teman-teman Tupainya nampak mengikuti di belakangnya. Dilemparlah timun itu ke badan Pak Tani.
Upsss….
Akibat lemparan yang terlalu kencang, Pak Tani pun terbangun dari tidurnya. Melihat ada segerombolan Tupai dan timun didekatnya, sontak marahlah Pak Tani. Dengan tongkat yang segera disambarnya dari bale Pak Tani segera mengejar para Tupai pemakan timunnya. Tupai yang menyadari keberadaannya terancam mulai menyelamatkan diri.
“HEI…TUPAI MAU KE MANA KALIAN? JANGAN LARI!” Suara teriakan Pak Tani yang menggelegar sampai juga ke telinga Kancil yang saat itu tengah berlari ke arah hutan dengan beberapa timun paling matang di genggamannya. Nyam…Nyam…Nyam…timun-timun itu pasti enak untuk dijadikan santap siangnya nanti. Ketika kelak Tupai menyadari bahwa Tebakan Kancil adalah sebuah Jebakan, maka Kancil telah kenyang dan tidur siang di dekat salah satu pohon rindang yang ada di hutan.
Paris, 1 Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H