Mohon tunggu...
Muhammad Ariby
Muhammad Ariby Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Malang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Mas-mas Malang yang kerap bimbang dengan pilihannya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Citra Budaya Ilegal dalam Arus Kemunduran Zaman

29 November 2023   13:02 Diperbarui: 29 November 2023   13:07 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanda-tanda perubahan zaman sering kali tercermin melalui sejumlah aktivitas yang pada pandangan sekilas---mungkin terabaikan. Namun, pada hakikatnya mengungkapkan kerentanan yang mendasar dalam struktur sosial. Fenomena-fenomena semacam ini, salah satunya dapat dilihat dari konkretnya kajian kompleks masalah sosial yang tengah kita hadapi dan kerap menjadi perbincangan esensial, yakni keberadaan para penjaga parkir ilegal.

Perbuatan yang melanggar norma ini merupakan bayangan kelam dari pergeseran zaman yang memunculkan kekhawatiran. Tindakan semacam ini bukan hanya menimbulkan isu hukum, tetapi juga mencerminkan kemunduran dalam nilai-nilai etika sosial. Dampak dari aktivitas para pelaku tidak hanya merugikan satu pihak, namun juga meresahkan pengguna jalan yang kerap terjebak dalam kesulitan akibat tindakan mereka. Sebagai contoh konkret, keberadaan petugas parkir di area yang seharusnya bebas parkir (bebas dari aktivitas parkir) seperti area Indomaret atau lokasi sejenis, merupakan sumber ketidaknyamanan yang sering kali kita saksikan. Namun demikian, masih terdapat sejumlah individu yang nekat melakukan hal tersebut, meskipun tindakan meminta uang secara ilegal dianggap sebagai tindak pemerasan yang dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 368 KUHP. Hal ini jelas bertentangan dengan peraturan hukum tentang parkir yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012.

Inti permasalahan bukanlah tentang keberadaan petugas parkir di ruang publik atau area sejenisnya. Namun, kompleksitas dari situasi tersebut menjadikan kejengkelan bagi masyarakat ketika menemukan individu-individu tertentu yang bertugas di lokasi yang jelas bebas parkir atau aman dari pajak jasa (retribusi). Lebih mengganggu lagi, jika mereka berada di lingkungan tempat ibadah seperti masjid, bahkan di jalanan sekitarnya. Hal ini memberi kesan bahwa beribadah ternyata berbayar. Sebenarnya, jika diterapkan berdasarkan prinsip hukum fiqih, seharusnya petugas parkir ledekan ini harus dijatuhi hukuman rajam. Dalam ajaran agama, Tuhan tidak menetapkan adanya kewajiban membayar sejumlah uang ketika menjalankan ibadah-Nya. Kriteria yang ditekankan hanyalah keikhlasan dalam niat dan khusyu' saat beribadah. Sementara tindakan petugas parkir tersebut justru menimbulkan perkara bahwa pelaksanaan ibadah memerlukan kompensasi finansial.

Di antara serangkaian keluh kesah ini, timbul sebuah pertanyaan esensial: mengapa negara ini membutuhkan individu yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi? Mengapa pula negara masih membiarkan kehadiran kerumunan individu yang cenderung stres ini menyebar ke lokasi-lokasi yang seharusnya steril dari keberadaan mereka? Toh, kendaraan-kendaraan tersebut yang tidak memerlukan pengamanan tambahan juga tidak hilang, tetap ada.

Apakah terdapat suatu kelompok komunitas penjaga parkir di Indonesia? Jika ada, apa sebenarnya visi dan misi yang mereka usung? Sebaiknya, lebih bijaksana untuk menghentikan legalitas keberadaan petugas parkir ini dan menghapus Peraturan Perlindungan Konsumen dalam Layanan Parkir. Sebab, semua ini tidak menjamin keamanan bagi konsumen di sekitarnya, bahkan cenderung mengakibatkan ketidaknyamanan karena merusak kepercayaan sosial yang ada.

Namun, jika kita mengamati dengan cermat, akan terlihat ekspresi keputusasaan di balik aktivitas ini---yang sering kali dilakukan oleh individu yang mungkin terpinggirkan dari kesamaan kesempatan dalam hal ekonomi. Ketidakmampuan ekonomi utamanya, minimnya kesempatan pekerjaan yang layak, atau kesulitan dalam mencapai stabilitas finansial sering kali mendorong individu-individu menuju aksi ilegal semacam ini. Hal ini menandakan adanya ketidakadilan sistemik dalam pemberian kesempatan serta penegakan hukum yang belum merata. Selain itu, dalam konteks yang lebih dalam, hal ini juga menyoroti kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat dalam memperbaiki struktur yang mendukung kesetaraan dan keadilan sosial.

Maka dari itu, sebagai pembawa citra bagi sistem sosial yang menghubungkan pemerintah dengan kelompok proletar, kita seharusnya membangun kerja sama yang lebih erat dengan semangat keharmonisan dan penciptaan keadilan. Dengan demikian, diharapkan kesenjangan antara berbagai lapisan sosial masyarakat dapat diminimalisir, sehingga tidak ada golongan yang terpinggirkan dalam arus perubahan zaman ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun