Aku sedang membaca rangkaian aksara tentang sebuah karya. Penulis itu melanjutkan imajinasinya dalam untaian kata yang manis dan mendebarkan. Para pembaca menjadi terbawa perasaan mengikuti alur dalam kisah fiksi yang ditorehkan.
Ada senyum, ada tawa, tangis kesal, amarah dan emosi yang tak bisa dikendalikan. Nampak dari aneka penilaian di kolom komentar. Banyak praduga diberikan, seandainya kisah menjadi begini atau begitu. Masing-masing memberi penilaian, ide, masukan, dan curahan hati.
Namun,
Kembali semua karya tentu saja adalah seperti mau sang penulis. Suka-suka dia dalam berimajinasi. Bukankah ini karyanya. Meski demikian mengapa masih saja mereka membaca. Yang setuju, yang tak sependapat, yang memberi luapan amarah dalam kalimat tercerna, atau pujian pada konsistensi penulis melanjutkan cerita.Â
Tiap hari penulis ini terus dan masih dipedulikan. Karyanya terus dinantikan. Praduga terus diberikan. Pada akhirnya sebenarnya penulis ini sangat dirindukan.Â
Masalahnya,
Bagi sang penulis, apapun yang menjadi pendapat pembaca atau hater-nya tak pernah berpengaruh pada untaian aksara yang dibuatanya setiap hari. Dia selalu hadir lagi dengan karyanya.
...
Written by Ari Budiyanti