sekolah tempat saya mengajar.
Saat saya bercakap-cakap dengan teman-teman di kantor, saya bertanya untuk sekedar tahu aktivitas liburan dalam rangka cuti bersama. Tentu saja cukup panjang liburnya, 3 hari karena Sabtu juga libur di kantor atau tepatnya"Kemarin liburan ke mana Ms?" Rekan saya menjawab, "Iya mengantar anak-anak untuk ikut les ini dan itu, belanja keperluan rumah, dan lain-lain. Tahu-tahu sudah malam saja."
Rekan yang lain menanggapi, "Memangnya kayak Ms Ari, liburan bikin puisi terus kan?" Saya tak bisa berkata-kata lagi, hanya tertawa kecil bersama mereka.
Lalu teman saya yang lainnya menimpali, 'Iya Ms, kami mana sempat menulis apalagi jadi pujangga seperti Ms Ari. Sudah tidak sempat, Ms. Banyak urusan rumah tangga dan lain-lain."
Saya benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Hanya bisa berbagi tawa saja dengan mereka. Tidak bisa menanggapi. Di dalam hati saya bicara sendiri, wah saya dianggap bak pujangga sama beberapa teman kerja.
Pujangga, masa iya? Kami memang berteman di media sosial sehingga saling tahu aktivitas lain di luar sekolah atau sehari-hari di rumah. Teman-teman rata-rata selalu melihat saya membagikan tautan berisi tulisan puisi atau artikel lainnya.
Begitulah, di antara rekan kerja di sekolah pun sudah dikenal kalau saya suka menulis terlebih puisi. Bahkan saya pernah diminta tolong oleh rekan guru membuatkan puisi untuk acara perpisahan kelas 6. Sebuah puisi untuk papa dan mama mereka, anak-anak kelas 6 yang akan lulus pada waktu itu.
Itu kenangan tak terlupakan.
Bukan hanya itu, buku puisi yang pernah saya terbitkan juga ternyata memberi ruang bagi mereka mengenal saya sebagai guru yang suka berpuisi.
Tapi kalau disebut pujangga, rasanya masih terlalu jauh, berlebihan menurut saya. Hehe. Too much. Saya hanya seorang guru yang suka meluapkan isi hati dalam bentuk tulisan dan puisi yang mendominasi karya saya.
Singkatnya, saya adalah seorang guru yang suka berpuisi. Itu saja. Bukan pujangga atau yang lainnya.