May be yes, may be no.
Aku pernah belajar merenungi puisi-puisi yang kubaca dalam Alkitab. Kalian tahu, di sana banyak karya sastra besar. Sungguh sumber inspirasiku yang pertama dan utama bagiku. Alkitab, kitab suci yang kupercayai. Tentu saja karena aku seorang kristiani.
Kembali ke judul ya. Apakah aku mencintai puisi?
Sebenarnya akhir-akhir ini bermunculan puisi galau atau semacam dibuat karena baper (terbawa perasaan). Teman-teman pembaca apakah merasakannya ketika membaca puisi-puisi terbaruku?
Banyak puisi bertema cinta, rindu, sendu, patah hati, cinta sepihak, cinta tak berbalas, rindu yang menyiksa, iya semacam itulah. Iya atau tidak, kawan?
Banyak nasihat mengatakan karena peduli padaku, tak semua rasa dalam hati harus dijadikan puisi untuk diketahui umum kan? Benar dan sangat benar. Itu hak kita. Mau merahasiakannya atau membukanya bagi semua.
But, don't take it personally ya.
Kalau baca puisi-puisiku ya baca saja, nikmati jika bisa. Ada amarah, cinta, getir, bahagia, sedih, sendiri, dan berbagai rasa lainnya yang diramu dalam diksi-diksi yang teruntai menjadi bait-bait kata.
I have to say honestly ya.
Puisi-puisiku itu bermunculan begitu saja. Itu istilahku. Aku tak pernah menahan kata-kata yang mendesak datang tiba-tiba di hatiku. Terangkai begitu saja menjadi puisi. Ya begitulah. Puisi hati.
Aku tak pernah menahannya bila inspirasi itu hadir. Kuikuti dan kugenggam. Kutebarkan pena dalam rajutan rasa hingga menjadi kumpulan kata. Begitulah. Sangat mudah untukku sebenarnya berpuisi itu jika sudah hadir rasa mau.
Memang banyak orang mengatakan padaku, bagi mereka berpuisi itu sulit. Tidak bagiku. Puisi itu sesuatu yang mengalir dari hati begitu saja. Syukur kepada Tuhan.
Kompasiana menjadi wadah yang membuatku bisa menuangkan rasa dalam puisi-puisi hati karena selain mudah menulis di sini, ada juga banyak kawan kompasianer yang mengapresiasi puisi. Terima kasih ya kawan-kawan semua.