Meski berbeda keyakinan namun persahabatan mereka sangat dekat. Mereka juga saling menghargai dan bertoleransi. Kadang saling mengingatkan mengenai menjalankan ibadah sesuai keyakinan.
Siang harinya Maria menawarkan untuk jalan-jalan ke tempat wisata tak jauh dari rumahnya. Namun Sasa menolak. Menurutnya, tempat wisata akan penuh kala liburan.
Akhirnya Sasa dan Maria hanya tinggal di rumah. Orang tua Maria menyambut Sasa dengan baik di rumah mereka. Kakak Maria tidak bisa pulang karena tinggal di luar pulau. Biasanya keluarga ini berkumpul kala Natal di bulan Desember.
Maria mengisi liburan dengan memasak di rumah bersama mamanya. Hari ini pun aneka hidangan hari raya dibuat spesial untuk Sasa. Sore harinya Maria akan berkebun dengan ayahnya. Sasa ikut saja apa yang menjadi aktivitas Maria.
"Sa, kamu udah telpon keluargamu? Silaturahmi begitu di hari Idul Fitri," Â tanya Maria tulus mengingatkan.
Sasa mengambil ponselnya, seharusnya ini hari bahagia berkumpul dengan keluarganya di rumah. Tapi sayang, keluarganya tidak pernah menyambut kehadirannya setiap kali dia menyempatkan pulang. Bahkan kalimat penolakan yang diterima.
Setahun lalu, melintas sebuah ingatan.
"Ngapain pulang, habisin biaya saja. Telpon kan bisa. Uang buat pulang mending dikirim buat adikmu yang masih membutuhkan biaya kuliah dan untuk Ibumu berobat," kata ayah Sasa pada suatu kesempatan kepulangannya karena libur beberapa hari.
Sasa termenung menatap ponselnya. Melamun. Hingga dia dikejutkan suara Maria. "Sudah?"
"Eh iya ini baru mau telpon" kata Sasa buru-buru menelpon ibunya. Hanya sebentar. Setelah telpon silaturahmi menjelang selesai, Sasa bertanya lirih pada ibunya, "Apakah Ibu merindukanku?"
Terdengar suara di sebelah sana yang membuat hati Sasa sedih. "Iya, sudah tidak perlu bahas rindu. Kamu sudah besar. Mandiri saja. Itu sudah sangat membantu. Uangmu sudah Ibu terima kemaren. Oya kalau bisa bulan depan kiriman yang dibanyakin ya Sa."
Setelah itu Ibu menutup telponnya sepihak.