Kata-kata Sita tercekat tak jadi keluar. Kalimat terakhir yang dikatakan Anggi barusan membuatnya sadar. Ternyata hati Anggi belum sembuh benar dari rasa sakit karena rindu berat. Persis seperti yang diceritakan saat itu.
Ternyata untuk seorang penulis seperti Anggi, perasaan sangat memengaruhinya. Perasaan sakit di hati karena rindu tak semudah itu ditepis begitu saja oleh sohib kentalnya itu. Bahkan Anggi sampai ingin sekali bisa melupakan perasaan terdalamnya itu.
"Apa aku cerita aja ya ke Mas Angga. Bagaimanapun Anggi kan punya kakak yang sangat sayang padanya. Pasti dia peduli dengan keadaan Anggi saat ini."Sita melamun sambil bercakap-cakap dengan pikirannya sendiri seusai makan semangkok bakso di kedai depan kos Anggi.
"Ta, astaga itu minumanku. Jangan kau ambil pula lah." Tanpa sadar Sita mengambil gelas berisi minuman yang dipesan Anggi dan meminumnya.
"Eh, keliru, maaf. Terlanjur Nggi. Kamu pesan minum lagi aja ya yang baru," Sita malu sendiri karena terlanjur minum dari gelas milik Anggi. Memang sih masih utuh. Anggi memang kebiasaan tidak mau minum sebelum selesai makan.
"Nggak usah Ta. Aku nanti minum di kos aja. Deket juga, tinggal nyebrang."
Anggi malas aja nungguin minuman pesanan yang baru. Kadang lama.
"Yuk pulang. Aku udah selese."
Setelah melakukan pembayaran 2 mangkok bankso dan 2 gelas es teh manis, mereka beranjak ke kos Anggi.
Tiba-tiba HP Anggi berdering. Ada suara panggilan dari Angga, kakaknya yang jauh di Lombok.
"Halo Mas, tumben nelpon Minggu siang begini. Ada apa?"
Angga bercerita kalau dia sedang di sirkuit Mandalika, menjadi saksi sejarah menyaksikan sendiri persiapan MotoGP 2022.