Sudah kubilang akhiri saja rasamu padanya. Move on!"
Kembali Sita menasehatiku karena peduli sebagai sahabat. Namun entah mengapa begitu sulit melakukan nasihat yang sepertinya sederhana itu.
"Kenapa masih diam saja. Kau bahkan tak menjawabku. Mau sampai kapan terus murung begini, Anggi!"
Sita masih saja bicara dan terlihat kesal melihatku tak meresponnya.
"Apa aku harus pergi dari sini ya, Sita?",
Sita terkejut. Dia merasa bersalah sudah bicara terlampau banyak.
"Maafkan aku Anggi, bukan begitu maksudku. Kau jadi merasa kesal ya di sini. Aku terlalu banyak bicara. Baiklah, aku akan diam."
Gantian aku yang sekarang bingung dengan respon sohibku ini. "Maksudmu?"
"Tidak ada. Kau tidak apa tinggal di sini dalam diam. Aku tak akan mengganggumu lagi dengan keberisikanku seperti tadi."
Anggi nampak merasa bersalah padahal dia ga salah malah sangat baik dan peduli padaku.
"Ta, apakah kamu kira aku akan pergi dari rumahmu? Maksudku, apa kamu berpikir aku ga jadi menginap malam ini di sini?"
Sita mengangguk resah. Dia kawatir kalau sohibnya pulang ke kosnya dalam kondisi galau dan sedih begini. Lebih baik menginap saja di rumahnya sehingga ada teman. Mungkin itu yang dipikirkan Sita.
"Bukan begitu Sita. Maksudku apa aku pergi saja ya dari dunia tulis menulis karena semakin aku menulis, aku jadi mengingatnya dan itu membuatku bertambah risau."
Sita menatapku tak percaya. Masa iya Anggi akan berhenti menulis hanya karena seseorang. Bukan Anggi banget. Segalau apapun, Anggi selalu bisa menjadikan menulis sebagai sarana persembunyiannya dari segala gejolak.
Lalu kalau berhenti menulis, dia akan melampiaskan kesedihan dan segala rasa lainnya dengan cara apa? Sita kebingungan akan menjawab apa.