Waktumu berjalan di lingkaran. Tanpa alpha dan omega. Â Usiamu menapak di jalan lurus. Dengan satu titik awal dan satu titik akhir. Di antara dua titik itu ada mentari. Kau berdoa melihatnya besok pagi. Lagi, besok pagi. Lagi dan lagi.
Seperti putaran waktu yang tak pernah juga berubah. Selalu ada senja dan gelap malam menggantikan terik terang siang. Bahkan mendung terkadang menghias cakrawala untuk memberi makna yang berbeda. Hingga derasnya hujan terasa berat karena tak kunjung berhenti. Demikian kau mengartikan pagi yang senantiasa datang lagi dan lagi.
Terkadang cerah ceria biru langit-Mu memberi harapan akan perjalanan kehidupan. Tak jarang mendung menggayut kelabu mega-Mu memaksa langkah sesaat tertahan. Demikianlah pagi yang takkan ingkar janji untuk datang lagi dan lagi.
Malam berbalut sepi hantarkanku menggumuli mimpi
dingin merayu hati
cahaya bulan ikut menghiasi
nuansa misteri atau ketenangan yang menyelimuti. Entahlah.
Itu sebabnya aku selalu menunggu di sini, karena janji pasti akhirnya menepi. Seperti senja yang mengantarkan malam, dan malam menyapa pagi berpeluk bersalaman. Selalu begitu. Lagi, dan lagi
Apalagi yang harus kupinta pada angin yang sejuk, pada musim yang selalu merindu, pada terang dan gelap yang menghiasi hari, selain jernihnya rasa sebening embun. Mungkin aku sedikit sulit menterjemahkan, lagi dan lagi.
Hingga akhirnya pagi datang lagi dan lagi
 ...
Puisi Kolaborasi dari Kompasianers: Pak Felix Tani, Ari B, Mbak Dewi, Mbak Nazarotin, Ayah Tuah, dan Bu Aliz
Pada awal suatu pagi di bulan Oktober
7-1779
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H