Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.953 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 27-10-2024 dengan 2.345 highlights, 17 headlines, 111.175 poin, 1.120 followers, dan 1.301 following. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menanti Hujan Tanpa Suara

20 September 2021   23:44 Diperbarui: 21 September 2021   09:28 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pagi hari yang memutih di ujung sana. Terlihat jelas rumput-rumput menjebak embun dalam lekukan bak jaring laba-laba. Ternyata itu adalah hasil karya alam pedesaan. Masih dilingkupi hawa dingin dan dipenuhi kesejukan. Di sinilah kampung halamanku.

Petak-petak sawah banyak menghampar di tepian jalan utama. Aliran sungai kecil untuk irigasi sawah masih lancar mengalir. Membuai kenangan atas kisah-kisah di suatu masa. Membuat segala beban hidup tetiba tak terpikir.

Berpuluh tahun telah berlalu dari hari itu. Aku masih bisa mengingat jelas ukiran rasa dalam kalbu. Namun kini tak semua sama lagi. Begitu banyak perubahan jaman memengaruhi. 

Terkadang kemarau panjang seolah merusak segala pemandangan. Semua merasa kepanasan dan tak bisa menahan gerah. Lalu umpatan-umpatan dikemukakan. Menjadi lupa atas berkat-berkat sebelumnya yang diterima melimpah. 

Kemudian alam dalam putaran waktunya menurunkan hujan. Namun para insan telah melupa pada pelestarian hutan. Hingga derasnya air bergemuruh menghujam bumi tanpa mendapatkan tempat persembunyian. Kemarau panjang membuat mereka lupa memperhatikan lingkungan. 

Lalu luapan air tak jua terbendung. Melewati batas-batas desa dan pemukiman. Tak bisa tersalurkan dengan baik lagi sang tirta dalam deras aliran. Pun angkasa tak jua berhenti dari mendung. 

Pada hujan yang seolah menjadi ancaman di pemukiman, kubisikan aneka kata hati. Maukah kau datang sewajarnya saja. Berkebalikanlah dengan durasi kemarau nan lama. Aku memanti hujan tanpa suara. Berharap tak ada genangan air yang berkepanjangan. 

Mungkin beginilah ketakutan insan pada alam yang tengah marah dalam kecamuk. Seolah tengah mengamuk. Menyisakan bencana yang tak terpungkiri. Sekali lagi karena pada semesta mereka kurang peduli. 

...

Written by Ari Budiyanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun