Pada pagi hari yang memutih di ujung sana. Terlihat jelas rumput-rumput menjebak embun dalam lekukan bak jaring laba-laba. Ternyata itu adalah hasil karya alam pedesaan. Masih dilingkupi hawa dingin dan dipenuhi kesejukan. Di sinilah kampung halamanku.
Petak-petak sawah banyak menghampar di tepian jalan utama. Aliran sungai kecil untuk irigasi sawah masih lancar mengalir. Membuai kenangan atas kisah-kisah di suatu masa. Membuat segala beban hidup tetiba tak terpikir.
Berpuluh tahun telah berlalu dari hari itu. Aku masih bisa mengingat jelas ukiran rasa dalam kalbu. Namun kini tak semua sama lagi. Begitu banyak perubahan jaman memengaruhi.Â
Terkadang kemarau panjang seolah merusak segala pemandangan. Semua merasa kepanasan dan tak bisa menahan gerah. Lalu umpatan-umpatan dikemukakan. Menjadi lupa atas berkat-berkat sebelumnya yang diterima melimpah.Â
Kemudian alam dalam putaran waktunya menurunkan hujan. Namun para insan telah melupa pada pelestarian hutan. Hingga derasnya air bergemuruh menghujam bumi tanpa mendapatkan tempat persembunyian. Kemarau panjang membuat mereka lupa memperhatikan lingkungan.Â
Lalu luapan air tak jua terbendung. Melewati batas-batas desa dan pemukiman. Tak bisa tersalurkan dengan baik lagi sang tirta dalam deras aliran. Pun angkasa tak jua berhenti dari mendung.Â
Pada hujan yang seolah menjadi ancaman di pemukiman, kubisikan aneka kata hati. Maukah kau datang sewajarnya saja. Berkebalikanlah dengan durasi kemarau nan lama. Aku memanti hujan tanpa suara. Berharap tak ada genangan air yang berkepanjangan.Â
Mungkin beginilah ketakutan insan pada alam yang tengah marah dalam kecamuk. Seolah tengah mengamuk. Menyisakan bencana yang tak terpungkiri. Sekali lagi karena pada semesta mereka kurang peduli.Â
...
Written by Ari Budiyanti