"Kak, kalau nanti puisiku dilabel, kakak traktir aku semangkuk bakso ya. Kalau ga dilabel, aku deh yang traktir kakak." Percakapan yang mengundang tawa, namun aku menahannya sekuat tenaga agar tidak kelepasan ketawa. "Bilang aja pengen makan bakso bareng kakak." Nadi tertawa saja sambil berlari ke kamarnya.
Bunda rupanya mendengarkan perbincangan kami. Bunda hanya tersenyum, dalam sekejap Bunda sudah memesan 4 mangkuk bakso ke Pak Udin. Penjual bakso langganan kami sekeluarga. Sementara Nadi masih sibuk berkutat mencoba menulis puisi lagi di kamarnya. Sambil menunggu apakah setelah mengirimkan puisinya, karyanya itu akan dapat label.
Ternyata benar, dengan gembira dia berlari keluar kamar. "Kakak, traktir aku semangkuk bakso sekarang. Puisiku dilabel. Aku kirimkan yang keempat hari ini. Yang tiga tadi ga dilabel semua. Ini sekarang dilabel. Yeay, traktir dong!"
Aku dan Ibu tersenyum. Ini cara Nadi menyemangati dirinya dan menarik keluarganya untuk terlibat menyemangatinya. "Itu ada di atas meja makan. Baru saja datang baksonya. Tadi pak Udin yang mengantar kemari. Kayaknya Pak udin tahu dan ingin kasih hadiah untukmu.", kataku sekenanya.
Nadi yang kebingungan melihat responku, masa iya kakaknya cerita ke penjual bakso tentang label dari editor di platform yang dia tulis. Aku tertawa melihat wajahnya yang keheranan dan bengong.Â
Melihat aku tertawa, spontan Nadi sadar kalau aku menggodanya lagi. Sebelum Nadi mengejarku, aku bilang lagi, nanti kulaporin ke ayah loh ya. "Yah, Nadi masih suka menolak kertas label dariku."
Bunda tertawa mendengar gurauan hangat anak-anaknya di sore ini. Kami pun menikmati bakso bersama-sama, bertepatan dengan jam pulang Ayah dari kantor. Sebuah kebahagiaan indah yang kami rasakan.
Itu kisahku bersama Ayah, Bunda dan Nadi lima tahun lalu. Nadi sekarang telah menjadi penulis puisi terkenal. Nadi bahkan telah menerbitkan banyak buku puisi. Nadi tidak lagi sempat bercanda mengenai label pilihan editor lagi.Â
Nadi sudah menikmati sepenuhnya kegemarannya berpuisi. Nadi telah menjadikan puisi sebagai nadinya.
Kisah semangkuk bakso dan label pilihan editor tak akan pernah kulupakan. Caraku mengenang masa indah kami sebelum Nadi akhirnya demi mengejar cita-citanya, melanjutkan study di Jerman. Musim gugur di Jerman membuatnya banyak mengirimiku puisi-puisi sendu nan syahdu.
Tiba-tiba aku sangat merindukan Nadi. Ayah dan Bunda juga. Semoga Nadi bisa segera pulang dan menikmati kebersamaan di rumah lagi. Bagaimanapun jelang hari Ayah, rasanya sangat ingin berada di rumah berkumpul seperti dulu.Â