"Hallo, Nda sepagi ini telepon? Semoga penting ya." Terdengar tawa renyah di seberang sana. "Jam 9 pagi di sini, apa kau baru bangun Rin?" Ada ceria terbaca dari suara tawanya.
Astaga jam 9 pagi. Kukira masih jam sekitar jam 6. "Nda, sepertinya kau sedang senang. Bisa kutebak dari suaramu. Apa sudah minum secangkir kahwa?" Astaga kenapa aku jadi terbiasa dengan kata yang dia perkenalkan padaku.
Kahwa adalah kopi. Dia sering sekali kudapati minum secangkir kopi kalau kami bertemu di kantin kampus. "Iya seperti biasa, secangkir kahwa tanpa gula. Eh Rin, nanti malam kita bertemu ya, ada yang ingin kuceritakan, " sambungnya lagi.
"Mau cerita tentang sir kemarin pagi?", lagi-lagi tertawa di ujung sana dan telepon ditutup. Astaga kebiasaan. Aku bahkan belum menjawab ajakannya.
Malam minggu kami bertemu di taman kota seperti biasa. Malam ini sahabatku Nanda bercerita tentang sir yang dia sembunyikan selama ini. Dia tak tahan untuk menyimpannya terus dariku.
"Bulan depan aku berangkat ke Jerman. Aku akan menemui pacarku. Kami sudah tidak tahan lagi dengan LDR. Jadi kami putuskan salah satu mengalah dan aku yang datang padanya. Lega rasanya bisa menceritakan ini padamu Rin."
Aku terdiam. Jadi pertemuan kami malam ini, semacam pamitan ya. "Jangan cemas, ruang dan jarak bisa ada di antara kita. Tapi sempadan persahabatan kan tiada. Kamu jaga diri baik-baik di sini ya"
Mau pergi saja, masih memberiku kosakata baru padaku, sempadan. Tapi kali ini untuk pertama kalinya dia memberitahu artinya padaku. "Tidak ada batas dalam persahabatan kita." Katanya sambil tersenyum.
Aku memaksakan senyumku. Nanda, sahabat yang unik buatku. Aku banyak belajar darinya bagaimana mencintai bahasa Indonesia dengan mempelajarinya. Nanda memutuskan melanjutkan mencari kerja di Jerman, demi bisa bersama kekasihnya.Â
Selama ini kencan online menyiksa batinnya.
LDR memang berat bagi yang tak kuat. Setidaknya doaku semalam mendapat jawaban hari ini. Sahabatku tak menyimpan sedihnya lagi.
....