"Nak Gilang, nanti istirahat di kamar Riri saja ya. Biar Ibu yang tidur bersama Sari di kamar Ibu." Karena rumah ini hanya terdiri dari dua kamar saja. Tadinya kupikir akan tidur di sofa depan saja sudah cukup. Riri juga tidak bilang apa-apa di kertas pesannya.Â
Perlahan kumasuki kamar Riri. Ini pertama kalinya Gilang masuk ke dalam ruang paling pribadi milik Riri. Di situlah letak harta karun Riri. Berlarik koleksi bukunya berderet rapi di rak. Gilang melihat-lihat dan memilih judul yang tepat. Buku yang terakhir dipinjamnya sudah kembali ke tempatnya. Hanya butuh waktu singkat bagi Gilang menyelesaikan sebuah buku ketika hasrat membacanya muncul.Â
The Day I Die, judul buku yang berhasil menarik perhatian Gilang. Lalu ditariknya buku itu dari tempatnya dan mulai membaca. Gilang memilih membaca sambil duduk di sofa ruang tamu. Mengikuti kisah dalam buku itu sungguh membuatnya lupa tidur. Sampai Gilang tanpa sadar mengantuk dan tertidur di sofa itu. Gilang terbangun saat matahari sudah meninggi, dia kesiangan. Tapi segera saja dia tenang karena hari Sabtu, dia libur kerja. Tercium aroma kopi dan coklat hangat dan aneka masakan lainnya.
"Sudah bangun nak Gilang? Kenapa tidak tidur di kamar Riri?" Tanya Ibu sambil memberikan segelas coklat hangat pagi itu. Gilang rasa Ibu juga masih hapal minuman kesukaannya waktu dulu dia masih sering main ke sini. Jaman masih rajin kerja kelompok semasa SMA. Sudah lama sekali. Riri memang sahabat Gilang sejak masa SMA.
Sari juga sudah bangun dan langsung ikut bergabung mengobrol dengan Gilang. Sari menyodorkan sebuah kertas dengan gambar. Di situ ada lukisan sebuah keluarga kecil di depan rumah dengan halaman penuh bunga. Gilang tertegun mendapati tulisan di atas gambar orang yang dibuat Sari. Ayah Gilang, Bunda Riri, Eyang Putri dan Sari berdiri di tengah gambar Riri dan Gilang.Â
"Kapan Sari menggambar ini?" Tanya Gilang penasaran. "Tadi pagi-pagi sekali waktu Om Gilang masih tidur. Sari menemani Eyang di dapur sambil menggambar." Jawab Sari. "Tapi kenapa di sini tulisannya Ayah Gilang ya, bukan om Gilang?" Tanya Gilang pura-pura tak paham. Sari hanya tersenyum tidak menjawab, lalu lari ke kamar eyangnya. Gilang hanya tersenyum.Â
"Sari sudah sangat menyukai nak Gilang, sejak pertama melihat nak Gilang beberapa hari lalu. Sari terus bertanya pada Riri dan juga pada Ibu tentang nak Gilang. Meskipun sudah dijelaskan kalau nak Gilang ini temannya Bunda Riri, tapi Sari rupanya punya harapan tersendiri ya. Tidak usah terlalu dipikirkan kalau memang nak Gilang tidak suka dengan gambar itu. Namanya juga anak-anak"Â
Ibu menjelaskan panjang lebar, Gilang membalas dengan senyuman. Setelah selesai sarapan pagi, kami bertiga duduk di halaman depan rumah dan saling bercerita. Tak berkurang bunga-bunga yang ditanam Riri. Masih sama banyak dibanding dulu. Malah kelihatannya bertambah banyak.Â
Masa-masa SMA paling sering Gilang menggoda Riri. Mengetuk pintu rumahnya dan membawa beberapa bunga. Namun langsung ketahuan oleh Riri kalau bunga-bunga itu berasal dari halaman rumahnya sendiri. Gilang tersenyum geli mengingat kenangan itu. Betapa marahnya Riri melihat tanaman bunganya dipetik.Â
"Sari, apa sama Bunda Riri dibolehin metik bunga?" Riri mengangguk. Tapi lalu menyahut. "Tapi kata Bunda, bunga-bunga itu lebih indah kalau tetap di tanamannya. Sesekali metik boleh, asal jangan terlalu sering" Sari mengulangi nasehat Riri. Gilang hanya tersenyum mendengarkan. Timbul lagi ide masa SMA dulu. "Bagaimana kalau kita petik beberapa bunga lalu kita rangkai untuk Bunda Riri?" Sari langsung mengangguk. Lalu dia berlari ke dalam rumah mengambil gunting untuk memotong beberapa bunga. Ibu memberikan vas berisi air untuk menyimpan bunga yang sudah dipetik.
Menjelang jam makan siang, Riri pulang. Dia membawa oleh-oleh untuk Gilang dan Ibunya. Tak lupa mainan buat Sari. Gilang hanya tersenyum melihat mainan yang dibawa Riri. Boneka Barbie cantik berambut panjang.Â