Mohon tunggu...
Ariany Primastutiek
Ariany Primastutiek Mohon Tunggu... -

Saya adalah ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Cilacap, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lingkaran Emas Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Ibu

23 September 2012   02:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan hanya di Bali, saya yang tinggal di dekat alun-alun kota pernah mencoba belanja di pasar dengan menggunakan bahasa Indonesia. Nasib saya tak beda jauh dengan ibu saya saat berbelanja di Bali dulu. Ketika beberapa hari kemudian saya belanja lagi dengan bahasa krama alus (bahasa jawa yang lebih sopan dan halus, biasanya digunakan saat berbicara pada orang yang lebih tua atau dihormati), ternyata harga yang saya dapatkan bisa setengah lebih murah padahal saya belum menawar.

Kesimpulan saya sementara, bahasa daerah atau bahasa ibu lebih menjalinkan rasa persaudaraan bagi masyarakat setempat. Rasanya lebih akrab dan dekat. Ditambah ada program dari kelurahan tempat saya tinggal untuk lebih mengajari anak-anak -terutama dalam komunikasi- menggunaan bahasa Jawa halus ketimbang bahasa Indonesia. Alasannya, anak akan bisa dengan sendirinya berbahasa Indonesia karena sudah masuk dalam kurikulum pelajaran sejak jaman dulu. Hal ini dilakukan agar bahasa daerah yang telah turun temurun mengakar tidak hilang begitu saja, karena lebih menjamurnya para orang tua yang lebih suka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia kepada putra putrinya.

Sampai disini, masih perlukah menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam pergaulan dengan anak-anak? Menurut saya, sebgai orang tua kita harus seimbang dalam mengajarkan bahasa. Pernah saya iseng bertanya pada seorang anak menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian dijawabnya dnegan bahasa Jawa halus. Dalam hati saya kagum, masih belia bahasanya sudah demikian halus. Namun setelah kami terlibat percakapan yang cukup lama ternyata si anak lebih banyak menjawab dengan bahasa jawa, saya jadi berpikir lagi. Sungguh tidak nyaman bercakap dalam dua bahasa. Saya berharap si anak tadi menanggapi pertanyaan saya dengan bahasa Indonesia, tak disangka si anak menjawab, "Sampun biasa, kulo mboten pinter bahasa Indonesia." (sudah biasa, saya tidak lancar berbahasa Indonesia). Gludak! Saya berasa jatuh dari tebing yang tinggi. Saya tidak bisa membayangkan, jika dia tersesat lalu ditanya oleh orang sunda asli (yang tak paham bahasa jawa) lalu si anak menjawab dalam bahasa jawa. Saya ragu si anak akan menemukan jalan pulang. Sebab, keduanya sama-sama bingung.

Itulah mengapa puluhan tahun silam, para pemuda bersumpah dengan mengakui, salah satunya, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Sangat baik mengajarkan bahasa ibu sejak dini kepada anak-anak, agar mereka tahu bahwa meraka memiliki budaya berbahasa yang halus dan sopan. Namun tak mengajarkan sama sekali tentang bahasa Indonesia, jelas pilihan yang patut dikaji lagi. Bagaimanapun, kita hidup di tanah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan tentu saja memiliki ribuan budaya dan bahasa. Sudah barang tentu menjadi kewajiban kita mengajari anak-anak bahasa Indonesia dengan porsi yang seimbang dengan bahasa ibu.

Seiring berkembangnya teknologi, bahasa Indonesia telah banyak mengalami kemajuan. Terutama munculnya kosa kata baru yang dulunya masih terpendam. Namun karena banyaknya pekerja media yang sudah terlatih dalam hal diksi, membuat kosa kata itu menjadi popular di masyarakat. Selain itu bahasa yang dipakai pada peralatan elektronik guna menjelaskan kegunaan, cara pakai, dan sebagainya kini juga dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Hal ini tentu saja memudahkan orang awam untuk lebih memahami cara penggunaan barang elektronik itu, terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Inggris, yang notabene merupakan bahasa persatuan masyarakat di dunia.

Sebagai masyarakat Indonesia, tentu kita tidak ingin bahasa persatuan kita tenggelam oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Kita boleh bangga ketika bahasa kita ternyata masuk kurikulum sebuah sekolah tingkat SMA dan masuk dalam jurusan sastra di berbagai negara di dunia, contohnya Australia. Begitu bersemangat mereka mempelajari bahasa kita. Mengapa kita yang lahir di Indonesia enggan berbahasa Indonesia? Memang, saya sendiri jarang menemui orang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, kecuali itu di perkotaan. Hampir semua masyarakat desa berkomunikasi dalam bahasa ibu. Mungkin itu sebabnya bahasa Indonesia menjadi mewah. Tak hanya penduduk desa, penduduk kota pun merasa nyaman dengan bahasa ibu, karena sudah lebih mengakar dan turun temurun. Namun saya yakin mereka bukannya tidak mencintai bahasa Indonesia, hanya saja, -seperti kata anak kecil yang saya ceritakan di atas- sudah biasa.

Bahasa menunjukkan bangsa. Mungkin pepatah itu sangat pas untuk menjadi acuan kita agar tetap mencintai bahasa Indonesia. Meski jaman menuntut kita menguasai bahasa asing, meski kita berada jauh di ujung benua, kita tetap harus melestarikan bahasa Indonesia sebagai bukti cinta kita bahwa kita adalah bangsa yang bersatu -salah satunya- dengan berbahasa Indonesia.

Bulan Oktober, yang telah dicanangkan pemerintah sebagai bulan bahasa bisa menjadi penyemangat masyarakat Indonesia untuk lebih mencintai bahasa Indonesia. Bukan hanya dengan berbahasa Indonesia, bukti bahwa kita mencintai bahasa kita juga bisa dilakukan dengan cara menulis, membaca, dan berdiskusi apa saja tentang Indonesia. Sehingga apa yang menjadi cita-cita sumpah pemuda bisa terwujud.

Kalau bukan kita yang mencintai bahasa Indonesia, siapa lagi?





HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun