Dalam konteks ini kita bisa membahas soal ekspor udang ke Uni Eropa sebagai studi kasus. Menurut Bapak, masalah ini tidak kunjung selesai karena diplomasi Kemendag yang tingkat rendah dan tidak bermutu. Mari kita lihat duduk persoalannya.
Komoditas udang Indonesia sulit memasuki pasar UE karena mengandung aflatoxin yang melampaui ambang batas aman. Sejumlah negara eksportir udang juga pernah mengalami hal yang sama. Setelah melalui usaha inovasi, mereka berhasil menurunkan aflatoxin udang yang diekspor ke UE. Karena itu, PR kita adalah inovasi di sektor produksi pangan agar mampu menurunkan kadar aflatoxin. Tidak bisa Indonesia bersikeras agar UE menurunkan standar keamanan pangan mereka.
Ini bukan soal diplomasi tingkat rendah, tapi PR di sektor hulu yang harus dituntaskan.
Yang juga mungkin luput dari amatan Bapak adalah kompleksitas internal antar-kementerian dan lembaga pembina sektor dalam menentukan posisi perundingan. Kemendag mengoordinasikan perundingan perdagangan sementara kementerian dan lembaga memberi input untuk menyusun posisi runding "across the board."
Proses ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan intensif di bawah koordinasi Kemendag. Harus penulis sampaikan di sini, ada kecenderungan kementerian dan lembaga melihat sebuah perundingan hanya dari kacamata kepentingan sektor binaannya saja, sehingga sering terjadi perundingan internal ini lebih sulit daripada perundingan dengan negara mitra.
Dalam beberapa perundingan, posisi Indonesia sangat defensif dan sulit mengambil posisi ofensif karena kementerian dan lembaga terkait khawatir bila Indonesia ofensif maka mitra runding akan meminta trade off yang akan sulit "dibayar" oleh Indonesia. Dalam beberapa putaran perundingan, posisi Indonesia bahkan lebih defensif dibanding Least Developed Countries (LDCs), dan Kemendag harus selalu mencoba mencari perimbangan baru posisi runding melalui konsultasi lintas institusi  yang kadang harus dikonsultasikan ke tingkat Wakil Presiden.
Profesor Didik yang saya hormati,
Mari kita melihat data capaian perjanjian perdagangan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Selama periode pertama Presiden Jokowi, Indonesia berhasil menyelesaikan 17 perjanjian perdagangan. Rincinya, hingga Oktober 2019 ini 14 perjanjian telah rampung dan masih ada tiga perjanjian yang akan tuntas sampai akhir tahun ini.
Saat ini sejumlah perundingan dengan mitra dagang penting juga sedang berlangsung, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yaitu perjanjian kerja sama perdagangan antara negara anggota ASEAN dengan enam negara mitra; perundingan dengan UE, Korea Selatan, Turki dan perundingan bilateral lainnya; serta perundingan sebagai negara anggota ASEAN dengan negara mitra.
Bagi Bapak dan masyarakat pada umumnya, angka 17 ini mungkin terlihat kecil. Namun, yang jarang diketahui, sudah 12 tahun Indonesia hanya memiliki 7 perjanjian dagang sehingga ekspor Indonesia sulit bersaing dengan negara-negara yang sudah mengikat perjanjian. Contoh paling aktual adalah Turki yang mengalihkan impor sawitnya dari Indonesia ke Malaysia setelah Negeri Jiran itu merampungkan perjanjian dagang yang menyediakan penurunan tarif dan fasilitas lainnya. Â