Mohon tunggu...
Arianto
Arianto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Freelancer yang free thinker

Selanjutnya

Tutup

Money

Takhayul Anti Impor

3 Mei 2019   17:44 Diperbarui: 4 Mei 2019   02:44 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam dunia politik, semua punya kepentingan. Terlebih bagi mereka yang memegang jabatan penting. Entah di kursi pemerintahan, DPR, MPR, atau BUMN. Jangan terburu-buru percaya dengan pernyataan heroik yang dilontarkan. Apalagi sampai fanatik membela salah satu diantara mereka.

Sebab semua bisa disangkal. Kemarin ngotot bilang 'tidak', sekarang lantang meneriakkan 'iya!'. Dikatakan terang-terangan, atau malu-malu kucing. Jadi biasa sajalah. Tak perlu terharu melihat ketegasan mereka saat diwawancara. Bisa jadi hanya topeng. Ambil contoh: sikap anti impor pangan. Kita bisa mendata siapa serta dari instansi mana saja yang menolaknya habis-habisan. Alasannya seragam. Ya, tak jauh-jauh dari keberpihakan pada petani. Atau nasionalisme! Sudah rutin mendengarkan, kan?

Ingat bagaimana pemberitaan pertengkaran Dirut Bulog bertengkar dengan Menteri Perdagangan? Buwas diberitakan tampak geram dengan impor beras. Bahkan sang menteri sampai dimaki. Sampai keluar caci, "Matamu!", segala! Asyik kan, lihat pejabat misuh? Setidaknya, emak-emak bisa langsung membisiki anaknya yang masih di bawah umur, "Jangan ditiru kelakukan kayak gitu, Nak!"

Buwas berdalih gudang Bulog sudah penuh, tak muat lagi untuk menampung tambahan stok. Persediaan saat itu dianggap cukup untuk penyaluran hingga akhir 2018.

Tahun lalu, bolak-balik Buwas menolak impor beras. Boleh dibilang, sebagian besar pemberitaan tentang Buwas sepanjang 2018 berisi penolakan impor. Bikin geger! Hasilnya mudah ditebak. masyarakat lantas menganggapnya pahlawan. Sebab berani menolak keputusan rakortas. Bernyali bilang "tidak" meskipun Menko Perekonomian sendiri yang menginstruksikan.

Tapi sekarang Buwas tidak lagi anti impor. Ia justru mengeluhkan surat izin impor bawang putih yang tak kunjung diterbitkan Kementerian Perdagangan. Menurutnya, ada menteri yang menghalang-halangi impor 100.000 ton bawang putih. Kita tahu siapa menteri yang dimaksud.

Tirto mengulas keluhan Dirut Bulog kesayangan netizen ini. Tertulis dalam sebuah artikel panjang pada 2 Mei 2019. Bahwa keluhan Buwas makin menjadi-jadi saat izin impor justru diberikan kepada delapan importir swasta. Disertai dengan tudingan bahwa si penghalang itu berani-beraninya membatalkan perintah presiden dan sengaja mau bikin inflasi melejit. Oh, betapa heroik.

Sebentar, jangan naik darah dulu. Karena Buwas sesungguhnya melanggar peraturan Kementerian Pertanian yang mewajibkan tanam 5% dari total rekomendasi impor. Permentan itu berlaku bagi semua importir. Tak peduli swasta atau badan usaha pelat merah.

"Tapi kan ini darurat! Harusnya Bulog diizinkan impor tanpa menanam 5% dari 100.000 ton!" Tidak bisa begitu, Ferguso!. Kecuali Kementerian Pertanian mengubah aturan dan membuat pengecualian untuk BUMN. Tidak patut perusahaan milik negara melanggar peraturan yang dibuat oleh kementerian.

Dilihat dari sisi kemitraan antara pemerintah dengan pengusaha pun tidak elok. Masa importir swasta diharuskan menanam 5%, tapi Bulog diizinkan melanggar ketentuan wajib tanam? Lalu buat apa aturan itu dibikin? Jika swasta dibebankan kewajiban mengembangkan produksi bawang putih, kenapa Bulog tidak?

Membiarkan Bulog melanggar permentan sama saja dengan mencoreng muka pemerintah. Pelakunya pun perusahaan negara. Ini seperti: "Mereka yang bikin aturan, tapi mereka sendiri yang ingkar" Dan rombongan katak pun tertawa!

Sikap Buwas tentang impor bawang putih ini patut dipertanyakan. Kenapa sekarang getol minta impor? Tempo hari bilang gudang Bulog penuh untuk beras. Lalu tiba-tiba kosong khusus buat Bawang putih, begitu? Healadalah!


Apalagi total tonase impor delapan perusahaan swasta itu berjumlah 115.675 ton. Cukup untuk memenuhi kebutuhan. Satu bulan kita hanya butuh 35.000 ton. Harga jual ke masyarakat pun sudah pasti dipatok rendah. Jadi Bulog tidak perlu khawatir meskipun tak ikutan stabilisasi harga.

Ini bukan berati Bulog tidak boleh menjalankan tugasnya sebagai instansi pengendali harga. Justru karena Bulog adalah badan usaha milik negara, maka seharusnya mereka memberi contoh yang terpuji ke perusahaan swasta. Dengan tidak merajuk minta diistimewakan mentang-mentang BUMN.

Jadi, kepada emak-emak yang sering berbisik kepada anak-anaknya, mulailah untuk mendesiskan pesan baru. "Jangan mudah kagum kepada siapa pun yang lantang teriak anti-antian!" Tunggu sampai mereka kepepet dan butuh. Niscaya dijilatlah ludah sendiri. Sebab kita tak pernah tahu yang terjadi di masa depan, maka anggaplah semangat "anti-apapun" itu setara dengan tahayul!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun