Mohon tunggu...
Arian Sahidi
Arian Sahidi Mohon Tunggu... lainnya -

A Teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wasiat Cinta

1 April 2012   21:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sedang duduk di ruang tamu, menikmati sore dengan segelas teh hangat dan sepiring kecil mendoan. Seseorang mengetuk pintu rumahku. Suara salam itu bisa kudengar dengan baik. Suara itu mengingatkanku pada seseorang. Aku berjalan menuju pintu depan sambil mencoba  untuk mengingat siapa pemilik suara itu. Suara yang sudah sering kudengar, sepertinya aku tahu pemilik suara itu. Kubuka pintu secara perlahan, kulihat seseorang sedang memegang tangan putri kecilnya, sambil memegang tas berwarna putih berukuran sedang. Ia memakai baju gamis panjang berwarna orange, memakai jilbab yang senada dengan warna gamisnya. Andita, dialah wanita yang dulu pernah mengisi relung hatiku. Kemudian dia pergi membina rumah tangga dengan Raka Sahabatku. Aku menjawab salam darinya, kemudian mempersilahkan dia dan putri kecilnya masuk ke ruang tamu. “Dita, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Aku masih tidak percaya yang ada di depanku ini adalah kamu, Andita” ucapku. Dia tersenyum manis sekali, sama seperti senyum yang dulu pernah kudambakan akan menemani hari-hariku. “Alhamdulillah, aku baik-baik saja Mas” * Andita, wanita yang dulu pernah kudambakan cintanya, pernah kuiginkan hadirnya dalam tiap hembusan nafasku, pernah kupuja sepenuh hati, dan pernah menggoreskan luka di hati ini. Meski goresan itu bukanlah dia yang membuatnya, melainkan karena cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Namun, goresan itu membekas di dalam hatiku. Beberapa tahun yang lalu, aku, Raka, dan Andita adalah sahabat baik. Rasanya persahabatan kami tidak akan pernah terpisahkan. Saling berbagi dalam suka maupun duka, saling mendukung satu sama lain, dan saling mengingatkan agar terus menjadi lebih baik dari hari ke hari. Indahnya sebuah persahabatan yang berdasarkan atas saling percaya dan pengertian. Aku menikmati indahnya persahabatan diantara kami bertiga. Tidak ada yang tahu akan hati seseorang selain dia dan Tuhan yang menilai hati. Ketika cinta merayu hatimu, menimbulkan getar-getar rindu, dan menyesakkan dada. Saat cinta sudah menguasai hatimu, dan tidak ada kemampuan untuk menahan, saat itulah engkau akan merasakan betapa kuatnya rasa yang terus bergejolak di dalam sana. Layaknya hati seorang insan, aku pun merasakan jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada Andita sahabatku sendiri. Namun, aku mencoba untuk menahan semua rasa itu. Aku terus mengadukan rasa itu kepada Dia yang menguasai hatiku. Ada air mata yang mengalir tiap kali cinta itu memaksa untuk diucapkan. Cinta itu hanya mampu untuk kutahan dalam diri, dan tidak mampu untuk kuucapkan. * “Kapan datang ke Jakarta?” tanyaku. “Tadi pagi” jawabnya. Reza, ini  Shaulla putriku. Shaulla kecil menjabat kedua tanganku sambil tersenyum. Andita tidak banyak berbicara, dia mengeluarkan kertas dari tasnya, kemudian memberikannya kepadaku. Dahiku berkerut sambil memegang kertas tersebut. Aku tidak segera membacanya. Kulihat Dita menangis, membersihkan air matanya dengan sapu tangan berwarna biru. Dia hanya diam menundukkan pandangan. “Kertas apa ini Dita?” “Mas Reza silahkan baca sendiri” jawabnya sambil terisak. Dia menangis. Perlahan, kubuka dan kubaca. Salam sahabatku. Apa kabar? Aku berharap engkau selalu dalam keadaan sehat. Terus semangat menggapai mimpi yang dulu pernah kita lukis bersama di pinggiran kali “muara sambat” yang sering kita kunjungi. Kita memang sudah lama tidak bertemu karena jarak yang memisahkan. Tapi jangan khawatir, aku masih ingat akan dirimu. Ingat akan kebersamaan kita dalam meraih mimpi beberapa tahun yang lalu. Sahabatku, maaf jika baru kali ini aku memberitahumu tentang hal ini. Dulu, sebenarnya aku tahu akan getar-getar cintamu kepada Andita. Akan tetapi, aku pun merasakan getaran yang sama. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku tidak ingin lama-lama memendam rasa. Aku tidak ingin terus menimbang rasa, segera kulamar Andita. Kami pun menikah. Kulihat air matamu saat mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Maafkan aku. Kawan, saat engkau membaca surat ini, aku pastikan bahwa aku sudah tidak bisa bertemu denganmu. Aku  tidak bisa menjabat tanganmu lagi. Aku titipkan surat ini kepada Andita. Dia yang akan membawa surat ini kepadamu. Aku telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali. Reza, sore ini mendung. Aku menuliskan surat ini sambil menangis, menahan sakit yang terus membuat tubuhku menjadi lemah. Aku sudah tidak sekuat dulu lagi, Za. Aku sudah tidak mampu berlari bersamamu seperti dulu. Aku hanya bisa duduk di kursi roda ini, Za. Sahabatku, kali ini izinkan aku meminta pertolonganmu. Aku berharap engkau akan mengerti akan rasa yang sedang berkecamuk dalam hatiku. Coba engkau lihat wajah Andita Istriku, dia masih cantik seperti dulu. Dia seorang istri yang sholehah. Dia sangat berbakti kepadaku, mencintaiku apa adanya. Setia menemaniku meski sekarang semua tidak seperti dulu lagi. Reza, aku ingin engkau menikahi Andita. Aku tidak tega melihatnya membesarkan Shaulla putri kecilku sendirian. Aku ingin memastikan bahwa dia akan mendapatkan kasih sayang seorang Ayah yang tulus mencintainya dengan sepenuh hati. Kasih sayang yang tulus itu aku inginkan darimu. Namun, jika memang engkau sudah mempunyai pendamping hidup, jangan paksakan untuk memadu istrimu. Aku tidak ingin ada yang tersakiti karena permintaanku. Nikahi Andita jika memang kemungkinan itu masih ada. Kutitipkan Andita dan Putriku kepadamu. Sahabatmu Raka Hartono Air mataku menganak sungai. Bayang-bayang Raka terus hadir dalam benakku. Kenangan demi kenangan satu persatu hadir mengingatkanku tentangnya. Aku menangis mengetahui bahwa dia sudah pergi meninggalkanku. Pergi dan tidak akan pernah kembali. Kutatap Andita yang masih menangis. Shaulla sedang tertidur pulas dipangkuannya. Matanya memerah karena terus menangis. “Apa yang terjadi, Dita?” * Andita memulai ceritanya. Mas Reza, aku bahagia menikah dengan Mas Raka. Dia adalah suami idaman. Dia mencintaiku dengan tulus. Kebahagian kami semakin bertambah setelah kehadiran Shaulla. Tangisnya, tawanya, membuat rumah kami bak surga. Aku benar-benar bahagia. Namun, Tuhan memberi kami cobaan begitu berat. Aku tetap meyakini bahwa Tuhan tidak akan mencoba hamba-Nya diluar dari batas kemampuan hamba-Nya. Aku menerima semua cobaan itu dengan penuh kesabaran. Tidak pernah aku mengeluh atas semua itu. Saat Shaulla berumur dua tahun, sedang lucu-lucunya, Mas Raka mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa duduk di kursi roda menahan sakit yang terus menyiksanya dari hari ke hari. Akan tetapi, aku mencintainya, Mas. Aku tetap bersamanya. Aku rela kerja demi memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Kerja serabutan. Aku masih bahagia. Malam itu, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Dia memanggil Mas Raka lebih cepat dari yang kubayangkan. Aku ikhlas melepasnya. Karena tidak ada yang bisa mengetahui kapan seseorang akan kembali ke sisi-Nya. Aku ikhlas. Andita berhenti bercerita, dia menundukkan kepalanya sambil memandangi wajah buah hatinya yang sedang tertidur pulas di pangkuannya. “Mas, hanya itu yang bisa kuceritakan.” “Aku datang ke sini ingin menyampaikan surat yang ditulis oleh Mas Raka. Aku tidak ingin memaksa Mas menjalankan amanat dari Mas Raka. Namun, jika memang Mas bersedia untuk menikah denganku, aku rela menjadi Istrimu. Aku akan mencoba untuk menjadi istri yang baik. Seorang Istri yang berbakti kepada suami.” * Aku bersujud di hadapan-Nya. Meminta petunjuk dari Dia yang Maha Kuasa. Aku mengadu akan jawaban apa yang akan kuberikan kepada Andita. Jujur, rasa itu masih ada. Aku masih mencintainya. Namun, perasaanku kepadanya tidak seperti dulu lagi. Hari ini aku sudah berjanji akan memberikan jawaban. Aku berharap apapun jawabanku, Dita akan menerima semua ini dengan lapang dada. Tidak lama kemudian, Dita datang. Dia  duduk di hadapanku. Shaulla bergelayut manja di pangkuan Ibunya. Dia tersenyum menatapku. Ada ketenangan melihat senyum buah hatinya. Beberapa saat kemudian, Shaulla menarik tanganku, memanggilku dengan panggilan “Ayah”. “Ayah sudah lama menunggu?” Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ada kebahagiaan mendengar panggilan itu. “Ayah Belum lama menunggu Nak Shaulla” jawabku. Andita meneteskan air mata mendengar pertanyaan Putrinya. Andita, perjalanan jauh telah engkau tempuh. Engkau rela menemuiku hanya untuk mengantarkan surat wasiat yang ditulis oleh Raka suamimu, sekaligus sahabatku. “Aku bersedia menikah denganmu. Percayalah, aku bersedia menikah denganmu bukan karena rasa kasihan, akan tetapi karena aku masih mencintaimu.” Ucapku dengan penuh keyakinan. Kutatap langit, “Sahabatku, aku mengabulkan permintaanmu. Aku bersedia menikah dengan Andita. Tuhan membantuku menjawab semua ini. Doaku menyertaimu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun