Mohon tunggu...
Arian Sahidi
Arian Sahidi Mohon Tunggu... lainnya -

A Teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Cinta Hanisah

22 Maret 2012   05:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah, perempuan mana yang tidak ingin menikah? Menjalani hidup dengan seseorang yang disebut Suami, berbagi suka maupun duka, saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan menjadi seorang Ibu. Begitu pun dengan diriku, diumurku yang sudah tidak muda lagi, aku menanti hadirnya seseorang yang akan meminangku, menjadikanku tambatan hatinya, menjadikanku permaisuri dalam bahtera rumah tangganya. Tidak bisa kupungkiri, kadang aku bertanya kepada Tuhan, siapa jodohku Tuhan? Mengapa begitu lama hati ini Engkau biarkan kosong ?  Izinkan aku mengetahui siapa kelak yang akan menjadi suamiku, agar aku tidak perlu risau. Aku tidak ingin menjadi tuna cinta Tuhan. Tapi, kembali aku menyadari bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang yang akan menjadi suamiku, dan aku mempercayai itu. Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan. (QS. An-Naba’ [78] : 8) * Bapak memanggilku, mengajakku berbicara tentang seseorang yang ingin datang ke rumah. Seseorang yang ingin mengenalku lebih jauh dengan ta’aruf. Seorang lelaki yang sudah kukenal, katanya. Tapi siapa dia? Ah…aku tunggu saja dia datang ke rumah. Jika memang dia jodohku, aku yakin Tuhan akan mempersatukan kami. “Afifah, nurut apa kata Bapak” ujarku Tuhan, inikah jawaban atas doa-doaku selama ini? Aku duduk di depan meja rias di kamarku, memakai gamis dan jilbab panjang berwarna ungu. Hatiku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentangnya, lelaki yang malam ini akan datang ke rumah dan mengenalku melalui keluargaku. Siapa dia? Benarkah aku sudah mengenalnya? Dimana? Kapan? Seabrek pertanyaan itu datang secara bersamaan. Seseorang mengetuk pintu kamarku, “Afifah, Bapak menyuruhmu ke ruang tamu” Ibu mengagetkanku yang sedang melamun. Aku berjalan menuju ruang tamu dengan penuh tanda Tanya. Ibu memegang erat jari tanganku dan membisikkan kata-kata yang menenangkanku, “Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk hamba-Nya, Nak.” Aku duduk di antara Bapak dan Ibu. Di depanku ada seorang lelaki yang sudah tidak asing bagiku. Dia datang bersama kedua orangtuanya. Lelaki itu sedang menundukkan pandangannya. Lelaki itu adalah Mas Haikal, aku memang sudah mengenalnya sejak Ramadhan tahun lalu, dia adalah salah satu Imam di masjid dekat rumah. Selama Ramadhan, dia menjadi Imam shalat tharawih. Suaranya begitu merdu membaca ayat demi ayat Kalam Tuhan. Banyak jama’ah yang memuji keindahan bacaannya, merdu suaranya, dan kerendahan hatinya. Aku memang tidak pernah berkenalan langsung dengannya. Aku hanya sebatas tahu namanya, dan tentangnya dari cerita teman-teman akhwat-ku yang menaruh hati padanya. Tapi, mengapa dia ingin mengenalku? Bukankah masih banyak akhwat yang lebih cantik, cerdas, dan sholihah dariku? Astaghfirullah, apa yang baru saja kupikirkan? Bukankah Tuhan tidak pernah memandang kecantikan, kecerdasan dan kekayaan seseorang sebagai landasan kemulian? “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13) ** Ayah mengenalkanku dengan Haikal dan kedua orang tuanya. Aku menjabat kedua tangan Ibu haikal, kemudian menangkupkan kedua tanganku di depan dada sebagai wujud penghormatanku kepada Haikal dan Ayahnya. Aku tidak mungkin menjabat tangan mereka. Aku yakin mereka mengerti maksudku. Perkenalan keluarga begitu hangat, Ayah Haikal menceritakan tentang anaknya yang baru pulang ke Indonesia. Sebelumnya, dia menuntut ilmu di Negeri Jiran Malaysia. Tepatnya di Universitas Kebangsaan Malaysia. Haikal satu Universitas dengan Hanisah Adikku. Dia juga menceritakan tentang niat anaknya yang ingin mengenalku lebih jauh melalui pendekatan keluarga. Berharap akan ada niat yang sama antara diriku dan dirinya untuk membangun cinta meraih ridho-Nya. Haikal bukan hanya sekedar ingin mengenalku, dia langsung melamarku di depan kedua orang tuaku. Aku sempat terkejut mendengar ucapan Ayahnya. Tapi kucoba untuk menyembunyikan keterkejutanku, mencoba untuk tenang. Kupegang erat tangan Ibu di sampingku, Ibu memandangku dan tersenyum. “Saya serahkan semuanya kepada Afifah, karena dia yang akan menjalani” Bapak menjawab maksud dan tujuan kedatangan keluarga Haikal. “Beri saya waktu untuk memikirkan hal ini” jawabku. *** Hanisah duduk di ruang makan, tidak jauh dari ruang tamu. Dia adalah adik perempuan Afifah. Dia tidak sengaja mencuri dengar perbincangan di ruang tamu. Ada embun di pojok sana, membasahi kedua bola matanya. Ada sakit yang menjelma di dalam hatinya. Sakit seperti ditusuk-tusuk duri tanpa belas kasihan. Terbayang dalam ingatannya saat pertama kali bertemu dengan Haikal diBangi,Selangor. Mereka bertemu pada saat pertemuan Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Kebangsaan Malaysia (PPI UKM). Sejak itu, dia mulai mengagumi sosok Haikal yang santun, cerdas dan sederhana. Tapi, dia mencoba untuk menyembunyikan semua itu saat Afifah menghampirinya. “Nisa, kamu kenapa?” “Nggak apa-apa, kak. Nisa ke kamar dulu.” Hanisah berlalu meninggalkan Afifah yang kebingungan melihat Adiknya. Dia sempat melihat bekas air mata yang membasahi pipi Adiknya. Hanisah berlari masuk ke dalam kamar sambil menghapus air matanya. Dia menuju kamar mandi, membasuh anggota badannya dengan air wudhu, kemudian bersujud di atas sajadah panjang. Ya Allah, Ampuni hamba yang menangis bukan karena-Mu Menangis karena kecintaanku kepada makhluk-Mu Aku tidak ingin buta karena cinta kepada ciptaan-Mu Aku serahkan semua rasa ini pada-Mu. Aku ingin mencintai karena kecintaanku kepada-Mu. Setelah mengadukan segala keluh kesahnya kepada Allah Tuhannya, ada ketenangan di hati Hanisah. **** Haikal dan Afifah bersanding di pelaminan. Para tamu undangan mengucap selamat atas pernikahan mereka, mendoakan mereka, “Barakallahulakuma Wa Barakallahu’alaikuma Wa Jama’a Bainakuma Filkhair” Keduanya begitu serasi. Sedangkan Hanisah, ia membaur bersama tamu undangan, bercengkerama dengan mereka, mencoba untuk menepis rasa yang sedang bergejolak di dalam dadanya. Ia mengenakan gamis dan jilbab panjang berwarna merah marun. Dia cantik. Dalam untaian do’a, Nisa mengadukan segalanya kepada yang Maha Cinta, kepada Allah yang menilai hati manusia. Ya Tuhan, anugerahkanlah kepadaku pasangan dan anak-anak yang menggembirakan hatiku. Dan jadikanlah aku perintis orang-orang yang bertakwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun