Mohon tunggu...
Arianna Els
Arianna Els Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Anak muda, sang pemimpi. Suka menulis. Berkarya dalam kesederhanaan Akun sosial media : Instagram : @arinnels_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Muda dan Mental

15 April 2023   14:32 Diperbarui: 19 Agustus 2023   11:15 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3 tahun belakangan ini, terhitung sejak wabah pandemi covid-19, statistik kesehatan mental anak muda melambung naik terutama pada masalah kecemasan atau anxiety, serta depresi dengan level yang berbeda-beda. Anak muda yang dulunya terbiasa dengan kegiatan penuh diluar rumah, ketika pandemi datang kungkungan itu harus mereka terima dengan satu tujuan agar tidak terkena virus yang membahayakan. Anak muda, masa dimana jiwa sosial yang terus meminta untuk dikembangkan, namun itu semua harus tersimpan erat dalam kungkungan mendadak yang dikenal dengan istilah stay at home. Dengan ketidakpastian akan virus tersebut, jiwa sosial yang menyeruak itu harus diubah menjadi perasaan takut dan linglung. Quick change tersebutlah yang menyebabkan mental sang pemimpi itu goncang. 

Seperti yang dilansir dalam pdskji.org, jumlah penderita laki-laki 24,2%, sedangkan perempuan melonjak di angka 75,8%, dan dilansir pada situs kompas.id pada infografis yang tertera menunjukkan dalam (hanya) 5 bulan pandemi covid-19, anak muda kerap kali mengalami masalah psikologis dengan jumlah trauma (75%), gangguan kecemasan (anxiety disorder) 65%, dan depresi (62%). Masalah psikologis itu muncul karena banyak faktor, diantaranya turunnya perekonomian keluarga, sedangkan trauma (75%) itu bisa muncul di antara jiwa anak muda tersebut disebabkan hal-hal yang seringkali dialami dan tentu dilihat secara langsung selama mereka berada di rumah dengan contoh KDRT yang "dimunculkan" oleh sang orang tua. 

Dengan diamnya kita rumah dan membatasi ruang gerak keluar rumah, maka teknologi lah yang satu-satunya menjadi penolong dalam keterbatasan. Dari teknologi tersebut, batasan tidak bisa kita tegakkan secara utuh, karena semua jenis content bisa di unggah dan dilihat secara bebas. Namun, karena segala macam informasi dapat kita temukan tanpa filter.

Salah satu penyebab mencuatnya hal ini adalah karena reaksi atau respon yang dilontarkan orang sekitar dari anak muda. Dengan respon yang tidak (cukup) baik, akan menimbulkan rasa enggan bercerita, dan menutup rasa keterbukaan, karena kebanyakan respon orang yang kurang paham hanya akan menjawab dan berspekulasi bahwa si penderita kurang kuat dalam agama sehingga mudah terguncang dan terus akan berkata demikian dan membiarkan si penderita tanpa usaha membantu sedikitpun. Kalau si penderita sudah merasa begini bisakah mereka menolong diri mereka sendiri? Jawaban faktanya adalah tentu tidak, maka dari itu perlunya bantuan dari orang terkasihnya, yaitu orang tua dan orang yang profesional dalam bidang ini (psikolog, dll).

Maka seperti yang telah ada, peran pemerintah dan peran orang yang ahli dalam bidang ini sangat dibutuhkan. Dalam hal apa? dalam hal pembenaran informasi, agar tidak dengan enteng menyepelekan mental health issue. Dan satu hal yang paling penting adalah memberikan pembinaan agar para anak muda tidak dengan cepat mendiagnosis dirinya sendiri atau self diagnose. Anak muda tempatnya labil, yang kerap kali memunculkan keyakinan bahwa hidupnya tidak berguna, dan kemudian kerap kali melakukan percobaan bunuh diri, itu pun perlu menjadi sorotan untuk dengan segera diminimalisir. 

Peran orang tua, orang yang tentu akan ditemui oleh remaja di rumah, apalagi mengingat kondisi dimana hanya berdiam di dalam rumah saja. Orang tua wajib untuk berkomunikasi anak setiap waktunya, agar pemikiran anak muda bahwa dirinya masih ada yang peduli dan sayang itu terus terpatri dan bisa meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Dari komunikasi kadang anak bisa merasakan dampak baik dan sehat seperti yang sudah disebutkan diatas. Tapi harus diingat, komunikasi yang anak muda/anak inginkan adalah komunikasi yang baik dan tentunya dengan nada halus dan penuh kasih sayang, karena walaupun berkomunikasi tapi dengan nada tinggi itu sama sekali tidak akan membuat anak merasa disayang dan dipedulikan, malahan sebaliknya anak akan merasa terintimidasi dan tidak aman.

Maka dari itu, peran membangun itu diperlukan untuk menekan anak muda terkena mental health issue. Dan bagi anak muda yang sedang mengalami masalah gangguan mental, cobalah untuk menjalankan hidup sehat dan atau berjalan-jalan di luar rumah, sebagai bentuk healing dan refreshing agar terhindar dan berkurangnya hal tersebut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun