Mohon tunggu...
Ariani Kartika
Ariani Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Sudah keluar dari pekerjaan 9-5

Suka menulis dan membuat sabun artisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Memahami Simbol-simbol di Alun-alun Selatan

18 September 2024   08:30 Diperbarui: 18 September 2024   08:32 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, bagi saya alun-alun Selatan hanyalah sebuah lapangan berpasir, yang akan menerbangkan debu-debu jika angin bertiup kencang.

Alun-alun selatan ini menjadi lebih hidup di waktu malam. Penjual wedang jahe, roti bakar dan jajanan lainnya membuka lesehan di trotoar. Ditambah dengan kemeriahan sepeda yang berhias lampu warna-warni yang dikayuh mengelilingi alun-alun, berebut jalan dengan pengendara motor dan mobil yang lewat.

Tapi bukan keramainan seperti itu yang saya sukai. Jadi ketika Jogja Walking Tour membuka rute Alun-alun Selatan, saya langsung mendaftar. Karena saya tahu mas Erwin dari Jogja Walking Tour akan bercerita banyak tentang Alun-alun Selatan

Alun-alun Selatan, seperti halnya semua yang berhubungan dengan keraton Jogja, menampilkan banyak simbol atau perlambangan yang memiliki makna filosofi dibaliknya. Pasti banyak yang tidak tahu bahwa simbol-simbol di Alun-alun Selatan bercerita tentang penggalan siklus kehidupan, dari proses pembentukan, kelahiran, dan perkembangan seorang anak manusia.

Bingung? Wajar sih kalau bingung. Yuk…supaya bingungnya tidak terlalu berkepanjangan, mari kita mulai.

Lapangan Alun-alun Selatan.

Kalau Alun-alun Utara itu halaman depan Keraton, maka Alun-alun Selatan adalah halaman belakangnya. Di Alun-alun Selatan ini dulu digunakan untuk para prajurit berlatih dan memeriksa kesiapan pasukan menjelang tradi Grebeg.

Konon katanya, ketika Keraton Jogja masih melakukan tradisi tarung macam dan kerbau, juga dilakukan di Alun-alun Selatan.

Ada lima jalan masuk ke Alun-alun Selatan, yaitu Jalan Langenastran Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Ngadisuryan, Jalan Patehan Lor, dan Jalan Gading.  Kenapa lima? Angka lima melambangkan lima panca Indera manusia yang harus selalu kita jaga.

Di sekeliling lapangan Alun-alun Selatan ditanami pohon mangga dari jenis pakel dan kweni. Kata pakel terdengar seperti akil baliq (dewasa) dan kweni adalah wani (berani). Hal ini diartikan sebagai tahap dimana seorang anak sudah beranjak dewasa dimana dia sudah memiliki keberanian, termasuk berani meminang lawan jenisnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Selatan melambangkan pasangan laki-laki dan perempuan.

Tata Desain Keraton

Sebelum kita melangkah masuk ke area keraton, ada baiknya pembaca mengerti dulu tentang tata disain Keraton.

Keraton selain tempat tinggal Sultan dan keluarganya, juga berfungsi sebagai benteng dengan pertahanan yang berlapis yang biasa disebut cepuri.  Untuk sampai di area tengah Keraton, kita harus melalui beberapa gerbang yang disebut regol. Di kiri dan kanan regol terdapat bangsal pacaosan tempat abdi dalam yang menjaga keraton.

Setelah regol kita akan berada disuatu kawasan terbuka yang dikelilingi  tembok yang disebut plataran. Di dalam plataran berdiri  bangunan beratap yang terbagi menjadi dua.

  • Bangsal, bangunan beratap yang hanya disangga oleh tiang-tiang tanpa dinding.
  • Gedhong, bangunan beratap yang memiliki dinding tertutup.

Bangsal Kamandungan

Kalau kalian ke Alun-alun Selatan pasti akan melihat sebuah bangunan tinggi yang bertuliskan Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad yang diresmikan tahun 1956 oleh HB IX sebagai monument peringatan 200 tahun berdirinya Keraton Yogyakarta.

Namun pasti tidak banyak yang tahu, termasuk saya, kalau disisi kiri dan kanan gedung terdapat jalan yang diperuntukan untuk akses abdi dalem, dan masyarakat umum juga boleh memasuki area tersebut. 

Dibelakang akan dijumpai gerbang pertama yang disebut regol Kamandungan yang berpintu hitam dipayungi dengan atap limasan. Kemegahan rego ini dapat dilihat dari perbandingan tinggi pintu dengan tinggi orang. Disebelah kiri dan kanan terdapat bangsal pacaosan tempat berjaga abdi dalem.

Kalau kalian berdiri tepat di depan regol, tidak serta merta dapat langsung melihat plataran di dalamnya. Sebuah dinding penghalang yang biasa disebut baturana sengaja dipasang supaya orang-orang dari luar tidak bisa melihat rumah secara langsung. Disain baturana Kamandungan ini terlihat lebih bergaya Eropa.

Dari gerbang kita akan masuk ke dalam plataran (halaman) yang luas dan rapi. Di tengah plataran berdiri  bangsal Kamandungan, dengan seperangkat gamelan diletakan dipinggir sisi selatan.

Bangsal Kamandungan merupakan salah satu bangsal tertua yang berada di kawasan keraton. Bangsal ini diboyong oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dari Desa Karangnongko, Sragen atau yang dahulu bernama Sukowati. Dahulu bangunan tersebut merupakan tempat tinggal beliau pada saat perang melawan VOC.

Kamandungan sendiri berasal dari kata mengandung. Hasil dari persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang dilambangkan oleh dua pohon beringin di alun-alun, adalah janin yang berkembang di dalam kandungan.

Sudah mulai mengerti kan?

Bangsal Magangan

Kalau kita bergeser kearah  utara, kita akan melalui regol Gadhung Mlati yang berpintu warna hijau, lengkap dengan bangsal pacaosan disisi kiri dan kanan. Disain dan ukuran pintu regol sama dengan regol sebelumnya, tapi dominan warna hijau.

Tepat di depan regol terdapat baturana (penghalang) yang dihias dengan patung 2 ular naga berwarna hijau yang ekornya saling berlilit. Baturana ini kental sekali dengan nuansa budaya Jawa.

Regol dan Baturana Gadhung Mlati (dokpri)
Regol dan Baturana Gadhung Mlati (dokpri)

Sebelum sampai di Bangsal Magangan, kita harus melalui jalan yang mengecil yang sebenarnya adalah jembatan diatas selokan. Dulunya, selokan ini  adalah sebuah kanal menghubungkan pulo Kenanga di Tamansari yang terletak di bagian barat Keraton, dengan pulo Gedhong disebelah timur Keraton.

Secara simbolis, jalan kecil ini melambangkan jalan lahir. Setelah anak lahir, harus dibesarkan dan dididik, yang dilambangkan dengan plataran Magangan yang berasal dari kata magang. 

Jembatan antara plataran Kamandugan dan Magangan. Tampak bangsal Magangan (dokpri)
Jembatan antara plataran Kamandugan dan Magangan. Tampak bangsal Magangan (dokpri)

Di plataran ini banyak ditanam pohon jambu Dersana yang lebih dikenal dengan nama jambu bol. Makna filosofis yang terkandung pada jambu dersana yakni darsana, yang berarti teladan, atau kaderesan sih ing sesama, yang berarti kasih sayang pada sesama.

Makna filosofis dari plataran Magangan adalah seorang anak harus belajar hingga menjadi teladan atau manusia yang baik.

Berbeda dengan bangsal Kamandungan, bangsal Magangan diberi pagar.   Terlihat ada bagian dari lantai yang ditinggikan, yang menjadi tempat sultan duduk ketika abdi dalem datang menghadap. Menurut tata krama keraton, hanya sultan yang boleh duduk dibagian yang ditinggikan tersebut.

Ketika kami berkunjung, ada beberapa anak kecil dari kampung sekitar keraton yang sedang bermain bola dipojok plataran Magangan. Saya yakin anak-anak yang besar di area dekat keraton pasti sudah diajarkan sejak dini apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di area keraton. Tapi yang namanya anak-anak, polah spontanitas mereka tidak bisa ditebak. Itulah salah satu alasan kenapa bangsal Magangan dipagari.

Bangsal Magangan dengan latar depan pohon jambu dersana (dokpri)
Bangsal Magangan dengan latar depan pohon jambu dersana (dokpri)

Setelah plataran Magangan, kita akan menjumpai Regol Magangan untuk masuk ke plataran Kedhaton yang merupakan pusat dari Keraton. Tapi karena kita lewat dari halaman belakang Keraton dan tidak berbayar, kita tidak bisa melalui Regol tersebut. Wisatawan yang ingin melihat plataran Kedhaton harus melalui pintu depan dan membeli tiket.

Berbeda dengan dua regol sebelumnya yang tidak dijaga, di regol Magangan terlihat beberapa abdi dalem yang sedang duduk dan mengobrol. Terlihat juga beberapa abdi dalem yang keluar masuk melalui regol, tidak lupa  menyapa  abdi dalem yang menunggu didepan regol.

Disisi barat regol Magangan terdapat sebuah tiang lonceng yang akan dibunyikan oleh setiap jam. Saat itu lima menit menjelang pukul sepuluh,kita memutuskan untuk menunggu. Tepat pukul sepuluh seorang abdi dalem membunyikan lonceng sebanyak sepuluh kali.

Pulo Gedhong

Perjalanan dilanjutkan dengan keluar dari plataran Magangan melalui pintu sebelah timur, masuk ke pemukiman padat dengan gang-gang kecil, sampai kita jumpai sebuah bangunan yang elevasinya lebih tinggi dari rumah-rumah sekitarnya. Itu yang dahulu disebut pulo Gedhong.

Seperti yang sudah saya tulis diatas, pulo Gedhong dan pulo Kenanga di Taman Sari terhubung oleh sebuah kanal seperti terlihat di gambar denah.

kratonjogja.id
kratonjogja.id

Tentu saya dulu ketika komplek Tamansari dibangun, kawasan sekitarnya masih berupa  pohon-pohon dan tanaman lainnya. Kombinasi vegetasi hijau dan segarnya aliran air di kanal dan segaran, menciptakan sebuah taman air yang sangat asri.

Keindahan Tamansari pada masanya memang tidak bisa dinafikan. Konon katanya Sir Thomas Raffles kesengsem dengan Tamansari dan ingin menguasainya.

Sulit membayangkan kalau pemukiman padat ini dulunya adalah sebuah  segaran . Segaran berasal dari kata dasar segara yang berarti laut, kata segaran sendiri bermakna laut buatan. Lokasi pemukiman penduduk itu sekarang disebut Kampung Segaran.

Pasti orang-orang akan bertanya, dari mana sumber airnya untuk mengisi segaran sebesar ini?

Pendiri keraton, tidak sembarangan ketika menentukan lokasi untuk mendirikan kraton. Salah satu syaratnya harus dekat dengan sumber mata air. Seperti di Kotagede, Kerajaan Mataram pertama, sumber mata air disana sampai sekarang masih mengalir walaupun disekelilingnya sudah padat dengan pemukiman penduduk.

Ditambah lagi dengan tradisi kraton yang suka menanam pohon beringin yang akarnya mengikat air tanah. Jadi mulai sekarang, setiap melihat pohon beringin, lupakan sejenak sisi mistisnya tapi ingat bagaimana pohon-pohon beringin itu menjaga kelestarian air tanah.

Penutup

Seperti biasanya, jalan-jalan dengan Jogja Walking Tour tidak pernah mengecewakan. Sekarang saya tahu Alun-alun Selatan bukan sekedar wedang jahe, roti bakar, odong-odong berhias kerlap-kerlip lampu, atau berjalan dengan dua mata tertutup diantara dua pohon beringin.

Dibelakang keriuhan Alun-alun Selatan tersimpan sebuah cerita menarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun