"Cinderella, apa kamu sudah siap?? Go-Dokar yang kita pesan sudah sampai di depan rumah," kataku sambil mengetuk perlahan pintu kamar Cinderalla.
Tidak ada jawaban kecuali sesenguk tangis Cinderalla.
"Cinderella......", kataku lebih keras sekaligus mengetuk pintu lebih keras.
" Aku tidak mau pergi." Akhirnya suara Cinderalla terdengar dari balik pintu, lalu dilanjutkan lagi dengan menangis sesengukan.
"Kenapa?"
"Baju pestaku buruk sekali, aku tidak mau memakainya untuk hadir di pesta istana."
"Bukankah kamu sendiri yang memilih baju baru itu?"
"Sudahlah....kamu pasti tidak mengerti. Kalian pergi saja ke pesta. Saya tidak mau pergi."
Aku sadar tidak ada gunanya merayu Cinderella, aku tahu betul betapa keras kepalanya adik tiriku itu. Aku segera pergi dan turun ke ruang tamu, disana ibu dan adikku sudah menunggu. Aku menggelengkan kepala perlahan dan mereka langsung mengerti.
Kami bertiga, ibuku, aku dan Camilla adikku segera naik Go-Dokar yang sudah menanti dan pergi menuju ke istana. Tidak ada percakapan selama 30 menit perjalanan. Kalau kalian semua mengira kami berbahagia Cinderalla memutuskan untuk tidak ikut ke acara pesta malam ini, kalian semua salah besar.
Maaf, aku belum memperkenalkan dirik, namaku Christella.  Ketika aku berusia 10 tahun, ayahku tewas terbunuh. Dia dituduh sebagai pemberontak yang melawan raja. Padahal ayahku hanya seorang petani sederhana, yang terpaksa ikut dalam suatu perkumpulan petani. Ayahku tidak tahu apa-apa tentang politik, dia hanya seorang petani yang sangat  mencintai  tanahnya.
Dengan cap keluarga pemberontak, ibuku, aku dan adikku, hidup dalam kesusahan, kami dikucilkan. Jadi ketika seorang bangsawan tua melamar ibuku, janda seorang pemberontak, seluruh negara bergunjing betapa beruntungnya ibuku.
Orang luar tidak tahu, bahwa sebenarnya ayah tiriku mengawini ibuku, agar ada orang yang mengurus dirinya. Dia seorang bangsawan tua, yang suka berpesta pora  untuk menunjukkan status dan kekayaannya. Dia mewariskan banyak  hutang ketika meninggal 3 tahun lalu. Ibuku terpaksa menjual sebidang tanah untuk melunasi hutang tersebut. Tentu saja cerita yang beredar di luar berbeda. Ibuku dituduh menjual harta untuk berfoya-foya. Tapi kami diam saja, karena tidak ada gunanya membantah fitnah itu.
Adik tiriku Cinderalla sedari dulu menganggap kami tidak sepantaran denganya. Ibuku hanya wanita biasa. Sementara ibu kandungnya berasal dari keturunan bangawan. Cinderalla menyebar cerita bohong bahwa kami memperlakukan dia dengan buruk, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Tentu orang-orang percaya dengan ceritanya, Â karena dia cantik dan keturunan bangsawan.
Kami disambut dengan tatapan aneh dari para tamu ketika memasuki ke istana. Apalagi ketika mereka lihat Cinderella tidak ikut serta. Mulai terdengar pergunjingan diantara mereka. Â Kami sudah biasa dengan tatapan dan gunjingan seperti itu.Â
Entah kenapa, aku merasa Cinderella sudah merencanakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa.  Betul saja, tiba-tiba Cinderalla, dengan baju cantiknya,  masuk ke istana  dengan gayanya yang anggun. Semua orang terpaku dengan kecantikannya, termasuk sang pangeran yang langsung mengajakanya berdansa.
Ketika mereka berdua berdansa, aku melihat betapa cocoknya mereka berdua, pangeran tampan dan putri cantik. Sama-sama malas dan manja, Â yang sejak lahir disirami dengan kemewahan. Hanya cara hidup seperti itu yang mereka tahu.
Seketika aku berdoa agar mereka berdua berjodoh. Kali ini aku sungguh-sungguh berharap agar Tuhan mengabulkan permintaanku.
The End
Catatan:
Cerita ini sudah dibukukan dalam sebuah buku antologi bersama teman-teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H