Mohon tunggu...
Ariana Novadian
Ariana Novadian Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog klinis dewasa yang berdomisili dan berpraktik di Jakarta

Tertarik pada tema-tema self care, mentalhealth exercise dan positive psychology.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Termometer Emosi sebagai Pengendalian Diri

18 Maret 2022   23:01 Diperbarui: 18 Maret 2022   23:04 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari balik ruang konsultasi...

"Kenapa ya sekarang saya merasa mudah sekali marah, gak bisa dengar kalau anak  merengek, bawaannya ingin teriak".

"Sepertinya sudah tiga bulan terakhir ini, saya merasa mudah lelah, sulit konsentrasi, mudah lupa dan susah tidur"

"Saya bawaannya kok capek banget, padahal gak ngapa-ngapain... sudah sebulanan ini"

Pernahkah anda merasakan hal serupa? Ungkapan-ungkapan tersebut menyiratkan adanya perubahan yang dirasakan pada diri dari tanda-tanda yang diberikan oleh emosi, pikiran, fisik ataupun ketubuhan seseorang. 

Selain itu, dari pernyataan tersebut, kita dapat lihat bahwa "kesadaran" akan adanya suatu perubahan yang dialami, ternyata membutuhkan waktu yang tidak sama pada setiap orang. Ada yang membutuhkan waktu mingguan tetapi ada yang baru menyadarinya setelah berbulan-bulan. Bahkan bisa terjadi lingkungan atau orang terdekat yang terlebih dulu mengenali perubahan tersebut.

Suatu perubahan sangat mungkin terjadi karena kehidupan yang kita jalani memang bukanlah suatu keadaan yang statis. Setiap perubahan akan menimbulkan keadaan yang tidak seimbang atau dikenal dengan kondisi stres. 

Stres pada dasarnya bersifat netral, namun dapat berdampak positif atau negatif tergantung pada persepsi orang yang mengalaminya dan kadar dari sumber stress itu sendiri. Bagaimanapun juga, secara alamiah setiap orang akan berupaya menemukan keseimbangannya kembali.

Saat suatu perubahan menimbulkan pikiran, perasaan atau ketubuhan yang bersifat negatif, sebenarnya hal tersebut menandakan alarm mental kita sedang aktif atau menyala. Mengapa demikian? Karena kondisi mental selalu terkait dengan kerja pikiran, emosi dan ketubuhan seseorang. Sehingga dengan mengamati sinyal dari tiga unsur tersebut, kita dapat mengetahui kondisi mental diri sendiri. Sayangnya pada beberapa orang sinyal tersebut sering diabaikan, kurang diperhatikan bahkan tidak diakui keberadaannya.

Ungkapan seperti "ah kok jadi begini, cemen ini namanya" di saat kita sebenarnya merasa sedih dan mau menangis. Atau "saya kuat kok, saya gak apa-apa" , di saat kita merasa sangat syok, detak jantung juga terasa sangat kuat menghadapi situasi tertentu. Ungkapan-ungkapan demikian, merupakan bentuk respon yang tidak jujur dalam menanggapi alarm mental yang sedang aktif. 

Padahal sebagaimana fungsi suatu alarm, sinyal diberikan untuk kita perhatikan, terima dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mempermudah urusan kita. Begitu pula dengan fungsi alarm mental, saat memberikan sinyal, maka respon kita sebaiknya juga dengan mengamati, menerima dan memanfaatkannya untuk memahami diri lebih baik. Oleh karenanya kesadaran diri memiliki peran penting bagi seseorang untuk melakukan perubahan atau memperbaiki diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun