Sandiwara mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam pengadilan tindak pidana korupsi kembali berlanjut. Dalam keterangannya di persidangan, Setnov berani 'bernyanyi' dengan menuduh beberapa orang turut menikmati hasil korupsi berjamaah dalam proyek e-KTP.
Tuduhan itu bagi sebagian pihak sangat tendensius karena menyeret nama-nama yang sebelumnya tak pernah disangkut-pautkan dengan kasus tersebut.
Seperti misalnya, Setnov menuduh dua politisi PDI Perjuangan, yaitu Puan Maharani dan Pramono Anung turut menerima aliran dana.
Faktanya hingga saat ini tak ada keterangan dan bukti yang mengarah kepada kedua tokoh PDI Perjuangan itu. Bahkan, keterangan Setnov itu sendiri justru dibantah oleh tersangka lain, Made Oka Masagung.
Padahal sebelumnya, Setnov sendiri menyebut jika Made Oka Masagung yang memberikan uang kepada mereka berdua.
Oleh karenanya, keterangan Setnov itu bisa dikatakan sebagai fitnah yang keji. Karena dia menuduh seseorang tanpa disertai bukti yang sah di mata hukum. Apa yang disampaikan Setnov itu terbukti hanya pepesan kosong.
Oleh karena itu, keterangan Setnov soal keterlibatan Puan Maharani dan Pramono Anung dalam kasus korupsi e-KTP itu sangat berlebihan, terkesan didramatisir dan, yang jelas tak berdasar sama sekali.
Hal di atas tak aneh mengingat Setnov memang pemain sandiwara politik kelas wahid. Dia mampu bermain drama yang sekiranya bisa menguntungkan posisinya.
Selain itu, dirinya juga dikenal politisi licik yang licin pula. Misalnya, kasus 'sakit' dan 'kecelakaan menabrak tiang' sebelum ditangkap KPK beberapa waktu lalu adalah contohnya.
Dengan rekam jejak seperti itu, tak aneh bila pernyataan dan tuduhan Setnov kepada beberapa pihak soal proyek e-KTP sangat diragukan kebenarannya. Bahkan, lebih kuat sebagai tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Untuk itu, sangat aneh bila kita percaya sebagai fakta hukum.
Sebagai masyarakat kita wajib ragu dengan keterangan Setnov itu. Semoga para hakim dan penegak hukum bisa melihat dengan mata yang jeli dan hati yang adil.