Mohon tunggu...
Ariana Mayra Kamma
Ariana Mayra Kamma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Mahasiswa aktif yang memiliki ketertarikan pada isu hukum, pemerintahan, dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Jaksa Pinangki: Manifestasi Krisis Etika dan Moral pada Lingkungan Peradilan

25 November 2024   19:01 Diperbarui: 25 November 2024   19:01 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suap merupakan pemberian dalam bentuk uang kepada seseorang dengan maksud agar mempengaruhi tindakan atau keputusan yang dapat menguntungkan si pemberi suap. Perbuatan tersebut pada praktiknya dilakukan kepada pejabat yang memiliki kewenangan pada hal tertentu. Dalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya. Suap disamakan dengan delik jabatan karena pemberian akan sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang. 

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggolongkan tindakan korupsi ke dalam 7 (tujuh) kelompok, yaitu menyebabkan kerugian negara, suap menyuap, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan. 

Ilustrasi. Sumber: Shutterstock.com (by: Inthon Maitrisamphan)
Ilustrasi. Sumber: Shutterstock.com (by: Inthon Maitrisamphan)

Berkaitan dengan hal tersebut, Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari sempat menjadi buah bibir dan menarik perhatian berbagai pihak pada tahun 2020-2021 silam. Pasalnya, ia terbukti menerima suap dengan nominal US$500.000 (kurang lebih Rp7 miliar) dari terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali oleh Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap tersebut diberikan kepada Jaksa Pinangki sebagai “pelancar” untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) yang rencananya akan digunakan oleh Djoko Tjandra agar dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani eksekusi pidana 2 (dua) tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor: 12 PK/Pid.Sus/2009 tertanggal 11 Juni 2009. 

Melihat pada kasus Jaksa Pinangki tersebut merupakan representasi dari krisis etika dan moral pejabat hukum di Indonesia. Kemudian wujud nyata adanya pelanggaran kode etik pada profesi hukum, dalam hal ini adalah jaksa. Kode etik profesi Jaksa sebagai regulasi yang dibuat oleh organisasi profesi Jaksa yang berlaku internal pada Jaksa tersebut sendiri, yang di dalamnya memuat aturan, kebijakan, kewajiban, dan larangan bagi Jaksa dalam menjalankan fungsi profesinya. 

Produk hukum yang mengatur tentang larangan dan kewajiban jaksa dalam menjalankan tugas dan fungsinya terdapat pada Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Di mana dalam kasus Jaksa Pinangki tersebut telah melanggar larangan jaksa dalam Pasal 7 huruf b dan d, yaitu jaksa dalam menjalankan tugasnya dilarang meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apa pun dari siapa pun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung; dan melakukan pemufakatan secara melawan hukum dengan para pihak yang terkait dalam penanganan perkara. Larangan tersebut telah dilanggar oleh Jaksa Pinangki dengan perbuatannya menerima suap dari Djoko Tjandra.

Ilustrasi. Sumber: Shutterstock.com (by: Anna Stills)
Ilustrasi. Sumber: Shutterstock.com (by: Anna Stills)
Urgensi kode etik profesi, termasuk profesi yang berhubungan dengan hukum ialah sebagai kontrol diri (self control) untuk mencegah perbuatan yang dapat mencoreng martabat profesi, seperti perbuatan tidak jujur, dan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Pada pelaksanaan tugas dan fungsi dari profesi hukum dilengkapi dengan ketentuan perundang-undangan, serta ketentuan etika dan moral, sehingga tanggung jawab profesi hukum terdiri atas tanggung jawab hukum (norma) dan juga tanggung jawab etika dan moral. 

Namun, hambatan yang muncul adalah makin maraknya pelanggaran kode etik profesi hukum, terutama pada lingkungan peradilan. Hal tersebut menunjukkan lemahnya integritas moral profesi hukum. Di mana seharusnya profesi hukum menjadi garda terdepan dalam hal penegakan hukum, tetapi justru menjadi pihak yang turut mencederai dan melanggar hukum itu sendiri. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti lemahnya kualitas pengetahuan profesional hukum, penyalahgunaan profesi hukum, dan penurunan kesadaran dan kepedulian sosial. 

Kemampuan profesi hukum dalam melakukan supremasi hukum terletak pada independensi dan kuatnya integritas moral ketika menghadapi berbagai macam permasalahan yang timbul pada saat melaksanakan tanggung jawabnya. Agar dapat menjadi penyelenggara profesi hukum yang profesional dan baik dalam menjalankan profesinya, diperlukan kepribadian yang mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai objektif, sikap yang jujur, berintegritas, serta berdedikasi tinggi pada profesinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun