Stunting adalah keadaan di mana pertumbuhan tubuh anak terhambat, sehingga tinggi badan anak menjadi lebih pendek dari yang seharusnya sesuai dengan usia. Masalah stunting merupakan perhatian serius dalam skala nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Signifikansinya terletak pada dampaknya terhadap perkembangan dan kualitas hidup anak-anak, serta potensi pengaruhnya terhadap produktivitas dan kemajuan suatu negara di masa mendatang.
Stunting memiliki potensi menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, termasuk gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan otak, rendahnya daya tahan tubuh, dan risiko terhadap penyakit kronis di masa dewasa.
Mengingat banyaknya potensi masalah kesehatan hingga ancamannya terhadap kualitas sumber daya manusia di masa mendatang, begitu penting untuk mengidentifikasi apa saja faktor risiko yang menyumbang kondisi stunting.
Menurut penelitian observasional oleh Wicaksono R dkk pada tahun 2021 terhadap 194 anak usia 1-60 bulan, Â terdapat beberapa faktor risiko stunting yang secara umum dibagi menjadi dua yakni faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal.Â
Faktor risiko internal antara lain panjang lahir pendek, asupan kalori yang tidak adekuat, pemberian susu non-ASI, diare kronis, dan infeksi saluran nafas bagian atas.
Faktor eksternal seperti sanitasi yang buruk, pendapatan keluarga yang rendah, pendidikan ayah yang rendah, pendidikan ibu yang rendah, dan tinggal dalam keluarga yang memiliki lebih dari empat anggota keluarga.
Berbicara mengenai salah satu faktor risiko stunting yang telah disebutkan di atas yakni pendapatan di dalam keluarga yang rendah, kita melihat fakta di lapangan bahwa memang masih banyak sekali keluarga yang tinggal dan hidup dengan pendapatan atau gaji yang rendah atau ambil saja sebagai acuan yakni di bawah upah minimum regional atau UMR.Â
Padahal UMR telah diatur sedemikian rupa melalui Permenaker hingga UU Ciptaker untuk mengatur apa saja kewajiban badan usaha (yang kemudian didefinisikan sebagai setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja) terhadap para pekerja untuk memberikan gaji sesuai UMR yang telah ditetapkan di masing-masing daerah, lengkap beserta konsekuensi hukum yang meliputinya.Â
Ironisnya, hadirnya konsekuensi hukum dalam regulasi yang telah ditetapkan tersebut ternyata tak menjamin seluruh pekerja dapat digaji dengan layak atau gaji sesuai dengan UMR. Masih terdapat banyak sekali keluarga yang hidup dari gaji di bawah UMR. Mereka yang hidup dengan gaji di bawah UMR tersebut pada akhirnya sering kali berjuang dengan jerih payah untuk mencukupi kehidupan sehari-hari melalui penghasilan seadanya.
Padahal, kondisi ekonomi keluarga dapat memengaruhi tingkat gizi anggota-anggota keluarga, terkait dengan ketersediaan pasokan makanan dalam rumah tangga dan terkait keputusan makanan apa yang akan dibeli di dalam suatu keluarga yang lalu dapat membatasi akses keluarga terhadap pangan yang bergizi cukup.