Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Efisiensi Biaya Penanganan Penyakit Katastropik

4 Juni 2023   12:02 Diperbarui: 4 Juni 2023   23:00 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyakit Katastropik (Shutterstock)

Banyak pasien yang datang dan kita temui dalam praktek sehari-hari di fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) seperti Puskesmas atau klinik atau praktik dokter mandiri, sudah berada pada tahap atau stadium penyakit yang lanjut. 

Penyakit-penyakit tersebut biasanya sudah tidak dapat lagi ditangani menggunakan peralatan maupun obat-obatan yang tersedia di tingkat layanan primer. Dengan kata lain, penyakit-penyakit ini sudah termasuk ke dalam kategori penyakit-penyakit spesialistik atau penyakit yang memerlukan rujukan ke dokter spesialis yang tentu saja berada di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL). 

Penyakit-penyakit spesialistik adalah penyakit yang memerlukan biaya yang tinggi, baik dalam hal konsultasi, obat-obatan, maupun dalam hal tindakan medis yang diberikan, hal ini dikarenakan penyakit-penyakit tersebut sering kali membutuhkan serangkaian pemeriksaan penunjang yang mahal sebelum akhirnya dapat didiagnosis dan lalu diterapi.

Berbicara kini dan dulu, situasi dunia kesehatan telah banyak berbeda. Satu perbedaan mencolok ialah kemajuan dalam hal pencegahan penyakit menular karena penemuan vaksin yang akhirnya menyelamatkan banyak nyawa di dunia akibat ancaman penyakit menular. 

Dengan demikian, prevalensi dan insidensi penyakit-penyakit menular kemudian dapat ditekan dan pada gilirannya mampu mengubah penyakit tak menular yang kini menjadi jauh lebih dominan dan menjadi beban penyakit tertinggi di Indonesia. 

Jika kita menilik bersama pada data yang ada, penyakit-penyakit yang memberikan beban terbesar pada defisit JKN di Indonesia adalah non-communicable disease (NCD) atau penyakit tak menular (PTM) seperti stroke, gagal ginjal, dan penyakit jantung.

Penyakit tak menular, terutama yang memiliki sifat kronis atau berjangka panjang, ialah merupakan penyebab utama defisit dana JKN di Indonesia. Sebut saja penyakit gagal ginjal, dengan mempertimbangkan biaya untuk menjalani hemodialisa atau yang kerap kita kenal sebagai prosedur cuci darah bagi pasien dengan gagal ginjal kronis tahap lanjut mencapai kisaran biaya hingga 1.500.000 rupiah untuk setiap sesi cuci darah. Umumnya, pasien harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu.

Dengan demikian, dalam satu minggu, pemerintah mungkin harus mengeluarkan hingga 3 juta hanya untuk satu pasien saja. Pasien yang membutuhkan cuci darah tidak hanya satu atau dua, tetapi menurut data Riskesdas tahun 2018, terdapat sekitar 713.783 jiwa. 

Jika dihitung secara kasar, jumlah dana yang dikeluarkan setiap tahun mencapai triliunan rupiah. Belum lagi biaya obat-obatan pendukung seperti vitamin, mineral, dan lain sebagainya untuk membantu memenuhi kebutuhan nutrisi pasien yang tidak dapat tercukup dengan baik akibat kondisi kerusakan ginjalnya. Ia disebut sebagai penyakit katastropik akibat besarnya biaya yang ditimbulkannya.

Meskipun hampir seluruh faktor risiko dari penyakit gagal ginjal adalah faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau dapat diubah dengan perubahan gaya hidup ke arah yang lebih baik, nyatanya kita hampir selalu menemui pasien-pasien dalam tahap lanjut meminta rujukan ke RS saat bertugas di layanan primer. 

Faktor risiko tersebut meliputi penyakit hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, riwayat infeksi atau adanya batu pada saluran kemih, kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan obesitas.  

Dengan tingginya angka PTM kronis yang menyedot banyak dana JKN tersebut, saya kemudian berpikir bahwa masalah ini dapat timbul salah satunya ialah akibat lemahnya sistem kesehatan di tingkat layanan primer di Indonesia. 

Sebagaimana yang pernah saya ulas di tulisan pertama saya, terdapat satu masalah besar yang ditemui para tenaga kesehatan di Puskesmas di Indonesia (tentu saja dari sekian banyak masalah lainnya), yakni masalah menyeimbangkan antara kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan. 

Masalah saat harus menghadapi puluhan bahkan seringkali hingga ratusan pasien yang datang setiap harinya ke poli umum Puskesmas dengan jumlah tenaga kesehatan atau sebut saja jumlah dokter yang terbatas. 

Banyak Puskesmas yang hingga kini memiliki jumlah dokter yang kurang dari jumlah ideal yang dipersyaratkan jika dikomparasi dengan jumlah penduduk yang dicakupnya. 

Dengan demikian, menjadi keniscayaan jika kemudian para tenaga kesehatan tak mampu memberikan pelayanan yang komprehensif nan holistik untuk para pasiennya. 

Lalu pula jelas menjadi tak terelakkan jika seluruh faktor risiko di satu pasien tidak dapat teridentifikasi oleh tenaga kesehatan. Memberi celah berkembangnya penyakit tak menular yang kronis dan ya tadi, yang memakan banyak biaya.

Mencegah PTM yang Menyedot Banyak Dana JKN: Alat dan Model Skrining yang Terintegrasi

Dalam situasi seperti ini, saya kemudian merasa bahwa ada sesuatu yang seharusnya ada di meja pemeriksaan pada fasilitas-fasilitas layanan kesehatan tingkat primer di Indonesia, yaitu sebuah model atau alat skrining yang terintegrasi terkait penyakit tak menular, terutama penyakit kronis, yang dapat digunakan secara praktis di tingkat layanan primer di Indonesia. 

Rasa penasaran saya kemudian saya lanjutkan dengan mencari jurnal yang membahas mengenai model skrining penyakit tak menular yang dapat diterapkan di Puskesmas dan klinik di Indonesia. 

Saya kemudian terdorong untuk melakukan pencarian jurnal dengan kata kunci seperti model, promotif, dan preventif yang mengarahkan saya lalu menemukan sebuah penelitian yang berjudul "Making and Validating a Promotive and Preventive Effort Model for Stages 1-5 of Chronic Kidney Disease in Primary Care Services" penelitian oleh Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menyampaikan bahwa masih banyak dokter di layanan primer yang belum sepenuhnya memahami faktor-faktor risiko penyakit gagal ginjal. 

Oleh karena itu, diperlukan petunjuk klinis terkait pencegahan dan manajemen gagal ginjal kronis di tingkat layanan primer yang dapat disosialisasikan dan diimplementasikan oleh semua dokter di Indonesia.

Rasa penasaran saya terus berkembang, membayangkan betapa hebatnya layanan kesehatan primer di Indonesia jika penelitian terkait faktor risiko dan model skrining faktor risiko dapat digunakan secara optimal di setiap layanan primer. Untuk mewujudkan hal tersebut, ada dua hal penting yang harus ada. 

Pertama, perlu dilakukan penelitian terkait adaptasi model skrining faktor risiko penyakit dari luar negeri yang mungkin telah ada sebelumnya, atau pembuatan model skrining baru jika belum pernah ada sebelumnya, yang sesuai dengan kemampuan layanan primer di Indonesia. Kedua, para pembuat kebijakan harus mampu menerjemahkan penelitian-penelitian tersebut menjadi panduan klinis yang praktis dan dapat diimplementasikan di seluruh layanan primer. 

Penulis berharap bahwa tulisan ini akan menginspirasi para pembaca untuk meningkatkan penelitian tentang faktor-faktor risiko, terutama penelitian yang berkaitan dengan model penapisan atau skrining penyakit. 

Penulis berharap akan lebih banyak individu dan kelompok yang terpanggil untuk mengembangkan metode skrining yang efektif, baik untuk penyakit menular maupun non-menular, yang dapat diterapkan di seluruh layanan primer di Indonesia. 

Layanan primer harus selalu berfokus pada upaya promosi dan pencegahan. Sudah waktunya bagi Indonesia untuk mengikuti contoh positif dari negara maju dengan menempatkan Puskesmas sebagai pusat layanan primer yang berfokus pada promosi dan pencegahan. Selain itu, kemampuan dalam melakukan skrining serta edukasi terkait perkembangan alamiah suatu penyakit harus menjadi prioritas utama bagi dokter-dokter umum di Indonesia. 

Namun, untuk mencapai tujuan ini, dilema kuantitas dan kualitas dalam konteks pelayanan kesehatan di Indonesia jelas dan wajib harus diperhatikan. Seorang dokter tidak akan dapat melakukan skrining dan edukasi secara maksimal jika jumlah pasien yang harus ditangani terlalu banyak. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan rasio antara jumlah Puskesmas dan populasi yang dilayaninya.

Mari giat menumbuhkan penelitian mengenai skrining faktor risiko penyakit di Indonesia, demi menciptakan sistem layanan kesehatan primer yang tangguh, demi efisiensi biaya penanganan penyakit katastropik, dan demi tercapainya status kesehatan warga negara Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun