Rasa nyeri adalah sebuah pengalaman subjektif, yang berarti rasa nyeri yang dirasakan oleh setiap orang dapat berbeda-beda meskipun mengalami rangsangan yang sama. Tergantung pada persepsi individu terhadap stimulasi nyeri.Â
Rasa nyeri timbul ketika sistem saraf manusia menerima sinyal yang memberikan atau menginduksi rasa sakit dari berbagai reseptor nyeri di tubuh dan kemudian mengirimkan sinyal tersebut ke otak. Rangsangan ini dapat berasal dari berbagai faktor, seperti cedera, peradangan, atau penyakit.
Terkait persepsi individu yang berbeda-beda terhadap stimulasi nyeri, terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya.Â
Pertama, individu yang sering mengalami rasa nyeri pada masa lalu, mungkin lebih sensitif terhadap rasa nyeri pada masa sekarang.Â
Kedua, beberapa orang mungkin dapat menangani rasa nyeri dengan lebih baik, sedangkan orang lain mungkin lebih sensitif terhadap rasa nyeri, atau dengan kata lain terhadap toleransi nyeri yang berbeda-beda pada setiap orang.Â
Ketiga, faktor psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap rasa nyeri.Â
Keempat, faktor fisik seperti usia, jenis kelamin, dan kondisi kesehatan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap rasa nyeri.
Pada praktiknya di lapangan, rasa nyeri seringkali diremehkan baik oleh orang-orang di sekitar kita maupun oleh tenaga medis yang seharusnya menjadi pihak terakhir yang dapat kita andalkan saat orang-orang mengabaikan rasa nyeri kita.Â
Banyak orang tidak memahami betapa mengganggunya rasa nyeri, sehingga mereka cenderung meremehkan rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain. Hal tersebut merupakan suatu stigma terhadap penderita nyeri.Â
Stigma terhadap penderita nyeri adalah pandangan atau sikap negatif, diskriminatif, atau meremehkan terhadap orang-orang yang mengalami rasa nyeri atau kondisi kronis yang menyebabkan rasa nyeri. Kembali, stigma ini bisa terjadi karena kurangnya pemahaman tentang sifat subjektif rasa nyeri dan pengaruhnya pada kesejahteraan fisik dan mental penderita.
Stigma dapat muncul dalam bentuk seperti penderita nyeri yang dianggap hanya berpura-pura atau memperbesar gejala yang dialaminya, atau orang yang mengalami rasa nyeri sering dianggap lemah atau kurang tahan sakit, bahkan sering kali juga penderita nyeri dapat dianggap sebagai pencari perhatian atau malas karena tidak dapat bekerja seperti biasa.Â
Selain itu, beberapa orang menganggap bahwa rasa nyeri hanya dapat diatasi dengan obat-obatan atau operasi, sehingga mereka meremehkan pengobatan alternatif seperti terapi fisik atau psikoterapi.
Stigma terhadap penderita nyeri dapat memperburuk kondisi mereka, dikarenakan stigma mungkin membuat penderitanya menjadi malu atau takut untuk mencari pelayanan kesehatan.Â
Menjadi sangat esensial bagi kita untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang rasa nyeri dan pengaruhnya pada kesejahteraan fisik dan mental.Â
Harus dipahami bahwa penanganan rasa nyeri yang efektif memerlukan pendekatan yang individual dan dapat berbeda-beda pada setiap orang. Fasilitasi untuk pengobjektifan rasa nyeri melalui skala nyeri dapat digunakan untuk membantu pasien menggambarkan rasa nyeri yang mereka alami.
Penghindaran penggunaan kata-kata yang bersifat menghakimi rasa nyeri perlu menjadi perhatian bersama. Dengan demikian, penderita nyeri dapat terhindar dari stigma, dapat memperoleh dukungan yang seharusnya, dan mampu mendapatkan pengobatan yang tepat serta efektif untuk rasa nyeri mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H