Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sampai Kapan Antibiotik Terus Dijual Bebas?

7 Januari 2023   21:56 Diperbarui: 8 Januari 2023   04:01 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi antibiotik (SHUTTERSTOCK/ESB Professional via KOMPAS.com)

Di dunia kedokteran dan farmasi, untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri digunakan obat-obatan antibiotik. Ia bekerja dengan menghambat pertumbuhan ataupun perkembangbiakan bakteri, serta membunuh sel bakteri. Sepintas, nampak begitu mudah mengatasi penyakit-penyakit infeksi oleh karena bakteri, yakni dengan antibiotik.

Sebagaimana antibiotik telah menyelamatkan jutaan nyawa sejak pertama kali ia diperkenalkan pada tahun 1940, kehebatan yang ditunjukan oleh antibiotik sedari dahulu hingga saat ini kiranya berimbang dengan betapa banyaknya masyarakat dan termasuk di dalamnya yaitu tenaga kesehatan yang terperdaya dan terperangkap dalam persepsi yang salah bahwa antibiotik adalah obat dewa. 

Salah satu contohnya ialah tak jarang kita mendengar masyarakat yang mengeluhkan pegal-pegal seluruh badan berinisiatif untuk membeli obat pereda nyeri beserta pasangan sejatinya yang tidak lain dan tidak bukan yakni antibiotik, yang tentu saja tanpa resep.

Saat antibiotik tidak perlu digunakan, pasien tentu saja tidak akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut. Alih-alih justru hanya mendapat efek samping. Antibiotik yang digunakan tanpa indikasi hanya berakibat mengganggu komposisi agen infeksi, menyebabkan bakteri untuk beradaptasi dan bermutasi yang kemudian menjadi strain baru yang resisten terhadap rejimen antibiotik saat ini. 

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada satu pasien dapat mengembangkan strain resisten yang menyebar ke pasien lain yang tidak menggunakan antibiotik, dan pada akhirnya masalah yang disebut sebagai resistensi antibiotik ini menjadi sebuah masalah kesehatan masyarakat. 

Dalam hal ini, pemberian antibiotik tanpa indikasi dan pula berarti tanpa resep oleh dokter merupakan salah satu penyumbang resistensi antibiotik yang seharusnya kita perangi demi tak jatuh dalam jurang bakteri-bakteri yang tertawa bahwa ia sudah tak ada lawannya.

Kasus di masyarakat yang telah lumrah melakukan pembelian antibiotik di apotek ataupun toko obat berizin secara bebas ini tentu saja merupakan cerminan sekaligus tamparan kepada kita mengenai betapa lemahnya sistem pengawasan penjualan antibiotik oleh apotek dan toko obat di Indonesia. Ketegasan dari BPOM atau Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pengawasan ini tentu saja patut dipertanyakan. 

Begitu disayangkan dengan sudah terdapatnya kebijakan yang mendukung pencegahan terkait resistensi terhadap antibiotik harus bersanding dengan pelaksanaan di lapangan yang tidak menghormati eksistensi dari regulasi kebijakan tersebut, yang mana salah satunya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 28 Tahun 2021 mengenai Pedoman Penggunaan Antibiotik. 

Disusun sebagai sebuah pedoman penggunaan antibiotik bagi praktik mandiri dokter atau dokter gigi, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan rumah sakit serta merupakan pedoman bagi apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian berdasarkan resep dokter atau dokter gigi.

Kompleksitas masalah resistensi antibiotik yang disumbang oleh penjualan antibiotik secara bebas memerlukan kerja sama banyak pihak. Tak hanya BPOM, Dinas Kesehatan Kab/Kota, apoteker, atau dokter, namun juga masyarakat awam. Masyarakat harus cerdas dan dicerdaskan untuk membeli antibiotik atas resep dokter sehingga mendapat antibiotik jika memang diperlukan dan jika memang mendapat antibiotik, akan mendapat antibiotik yang sesuai dengan diagnosis penyakitnya. 

Masyarakat harus memahami konsumsi antibiotik tanpa indikasi hanya akan menjadi bumerang di kemudian hari. Selain itu, seluruh pihak pada layanan kefarmasian baik apoteker, asisten apoteker, dan pemilik apotek harus mematuhi regulasi dari kebijakan yang telah disusun oleh pemerintah untuk menjual antibiotik dengan resep dokter, kecuali pada obat-obat antibiotik yang masuk pada daftar OWA atau obat wajib apotek.

Tak hanya itu, dokter selaku pemegang peran yang begitu krusial yakni sebagai seorang pemberi resep tentu harus selalu memperbaharui ilmu agar dapat memberikan antibiotik yang sesuai indikasi dan sesuai penyakit pasiennya. 

Sebagai pamungkas, adalah tugas BPOM dan Dinas Kesehatan Kab/Kota untuk menindaklanjuti secara tegas penjualan antibiotik tanpa resep dokter, tak lain dan tak bukan yakni untuk menjawab pertanyaan sampai kapan antibiotik terus dijual bebas yang sesungguhnya telah memiliki jawaban yang jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun