Saya berharap paling tidak ada satu pertanyaan saja yang pasien tanyakan. Untuk itu, beberapa kali akhirnya saya mencoba melakukan post-test atau semacam kuis yang saya lemparkan kepada pasien agar pasien merangkum apa saja yang sudah saya jelaskan.Â
Rata-rata, pasien maupun wali pasien tidak mampu memberikan jawaban yang benar terhadap kuis yang saya berikan.Â
"Tadi mengapa mengangguk bu?" Saya bertanya penasaran.Â
"Ternyata ibu belum paham, padahal ini saya mau otak-atik badan ibu, lho."Â
Saya melanjutkan pertanyaan saya dengan sedikit teguran dengan tetap melempar senyum untuk mengisyaratkan bahwa teguran ini hanya dimaksudkan untuk menyadarkan mereka agar tak pernah enggan untuk bertanya dan sebuah tanda betapa saya begitu menyayangi pasien beserta kehidupannya yang berharga.
"Dokter yang paling tahu dok. Saya tidak mengerti apa-apa. Saya ikut yang terbaik menurut dokter saja." Itulah jawaban yang paling sering saya terima dan jawaban yang sebenarnya sudah saya duga sebelumnya.Â
Namun, walau rata-rata jawaban pasien hampir serupa dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada saya dan rekan-rekan tenaga kesehatan lainnya, menuntaskan tanggung jawab untuk selalu memberikan edukasi sejelas mungkin dengan bahasa yang paling sederhana adalah sebuah kewajiban bagi saya.Â
Pada akhirnya, gap atau jarak antara dokter dan pasien harus dihilangkan. Tak boleh ada satu pun pasien yang enggan bertanya. Setiap individu memiliki hak atas akses menuju kesehatan, termasuk di dalamnya ialah hak untuk bertanya terkait segala kondisi yang mempengaruhi kesehatannya.Â
Begitu pula dengan dokter. Tak boleh ada satu pun dokter yang malas untuk menjelaskan.Â
Jika dokter hanya memeriksa lalu meresepkan tanpa menjelaskan, kiranya lebih baik untuk pasien pergi ke toko obat saja alih-alih ke dokter yang hanya memperlakukan pasien sebagai objek pemeriksaan.Â
Padahal pasien adalah subjek atau persona, di mana pasien adalah pribadi yang memiliki kesadaran, aspirasi, dan perasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Szazs dan Hollender pada tahun 1997 dan sebagaimana pemikiran Maurice Merleau-Ponty atas tubuh pasien sebagai "lived-body" yang mengantarkan kita menuju paradigma bahwa pasien tidak sekadar objek yang bisa dipahami dari luar.Â