Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jika Aku Menjadi Pasien di Usia Senja

6 Desember 2022   18:27 Diperbarui: 7 Desember 2022   09:16 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pasien laki-laki lanjut usia datang ke IGD Puskesmas kami kira-kira satu setengah bulan yang lalu. Ia datang dengan digandeng oleh seorang anak laki-lakinya dan menantu perempuannya menuju tempat tidur pemeriksaan. Ia mengaku merasakan sesak saat bernafas sejak tiga hari yang lalu. 

Saya menanyakan mengapa tidak dibawa sejak kali pertama merasa sesak. Anak dan menantunya menjawab bahwa sang ayah merasa tidak siap untuk dibawa ke Puskesmas, karena telah menduga bahwa keluhan kali ini akan terkait dengan penyakitnya di masa lampau yang pengobatannya tidak selesai dan ia takut jika harus dirujuk ke rumah sakit. 

Pemeriksaan primer untuk menilai kegawatdaruratan dilakukan, berupa pemeriksaan patensi jalan nafas, pola, dan laju pernafasan, hingga sirkulasi darah dilakukan. Hasil pemeriksaan kadar oksigen di dalam tubuhnya menunjukkan bahwa kadarnya di bawah yang seharusnya. 

Suplementasi oksigen kemudian kami lakukan untuk mempertahankan kadar oksigen dalam rentang normal.

Saya memanggil pasien dengan sebutan kakek, karena beliau memang seumuran kakek saya jika kakek saya masih hidup. 

"Enakan dok..." Sebut sang kakek sambil mengelus dadanya yang batas antar tulang-tulang rusuknya terlihat jelas. Ia melempar senyum kepada saya yang menanyainya berbagai pertanyaan untuk memperjelas arah penyakit dan hendak mengetahui diagnosis dari keluhan yang ia rasakan.

Sang kakek masih bisa tersenyum di balik wajahnya yang begitu pucat. Saya menduga-duga kadar hemoglobin sang kakek ada di bawah angka enam. 

Dalam pengalaman saya, dengan wajah sepucat demikian biasanya hasil laboratoriumnya akan menunjukkan hasil di bawah enam. Betul, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, hemoglobinnya ada di angka lima. 

Tiga hari terakhir ini beliau memang sudah sering batuk darah dalam jumlah yang banyak, tutur sang menantu perempuan.

Beliau saya diagnosis dengan suspek TB paru relaps. Sebuah diagnosis untuk menjelaskan bahwa terdapat kecurigaan adanya infeksi tuberkulosis di paru pasien dan kambuh, biasanya karena pengobatan yang tak tuntas dalam rentang waktu yang ditentukan. Saya menyampaikan bahwa sang kakek harus dirujuk ke rumah sakit. 

"Saya mau dirawat di Puskesmas saja dok.."

"Kenapa pak? Apakah ada hubungannya dengan masalah pembiayaan pak? Bapak kan punya kepesertaan JKN."

"Bukan dok, nanti kalau saya dirujuk ke RS, saya kesepian, tidak ada keluarga yang menjenguk." Jarak RS dengan Puskesmas kami kurang lebih sekitar 62 km. 

Saya terdiam. Ternyata penyakit bukanlah sebuah masalah besar bagi seorang laki-laki di usia senjanya. Baginya, bertemu keluarga dan tetangga yang secara rutin bergantian maupun bersamaan menanyakan kabarnya adalah hal yang paling ia senangi. 

Di dalam hati kecil saya, saya begitu ingin mengabulkan kesungguhan sang kakek untuk tidak dirujuk ke rumah sakit, namun saya menyadari bahwa dengan kondisinya yang sesak dan saturasi oksigen yang begitu fluktuatif rasanya tidak pas jika beliau saya tahan untuk tetap berada di Puskesmas, terlebih Puskesmas kami bukanlah Puskesmas perawatan atau Puskesmas yang menyediakan layanan rawat inap. 

Saya menjelaskan indikasi atau alasan mengapa beliau harus sesegeranya dirujuk dan apa yang mungkin saja terjadi jika tidak dilakukan rujukan segera. Saya memanggil seluruh keluarga untuk turut berdiskusi. 

Jawaban akhir tetap tidak. Beliau memilih pulang dan meminta untuk diresepkan obat-obat yang ada di Puskesmas untuk mengurangi gejala batuk berdarah, sesak, dan nyeri pada dadanya. 

Beliau menandatangani surat menolak rujukan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya karena menghormati keputusannya. Beliau mengatakan beliau memahami apa yang mungkin terjadi kepada beliau di masa depan.

Dari beliau saya belajar bahwa untuk menjadi seorang dokter, mempraktikkan teori dan keterampilan kedokteran saja tak cukup. 

Kedokteran adalah tentang seni dan humanisme. Mengingat, pasien datang tak hanya membawa keluhan yang ada pada fisiknya, namun juga masalah dalam kehidupannya, yang saling berkaitan dengan penyakitnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun