"Saya mau dirawat di Puskesmas saja dok.."
"Kenapa pak? Apakah ada hubungannya dengan masalah pembiayaan pak? Bapak kan punya kepesertaan JKN."
"Bukan dok, nanti kalau saya dirujuk ke RS, saya kesepian, tidak ada keluarga yang menjenguk." Jarak RS dengan Puskesmas kami kurang lebih sekitar 62 km.Â
Saya terdiam. Ternyata penyakit bukanlah sebuah masalah besar bagi seorang laki-laki di usia senjanya. Baginya, bertemu keluarga dan tetangga yang secara rutin bergantian maupun bersamaan menanyakan kabarnya adalah hal yang paling ia senangi.Â
Di dalam hati kecil saya, saya begitu ingin mengabulkan kesungguhan sang kakek untuk tidak dirujuk ke rumah sakit, namun saya menyadari bahwa dengan kondisinya yang sesak dan saturasi oksigen yang begitu fluktuatif rasanya tidak pas jika beliau saya tahan untuk tetap berada di Puskesmas, terlebih Puskesmas kami bukanlah Puskesmas perawatan atau Puskesmas yang menyediakan layanan rawat inap.Â
Saya menjelaskan indikasi atau alasan mengapa beliau harus sesegeranya dirujuk dan apa yang mungkin saja terjadi jika tidak dilakukan rujukan segera. Saya memanggil seluruh keluarga untuk turut berdiskusi.Â
Jawaban akhir tetap tidak. Beliau memilih pulang dan meminta untuk diresepkan obat-obat yang ada di Puskesmas untuk mengurangi gejala batuk berdarah, sesak, dan nyeri pada dadanya.Â
Beliau menandatangani surat menolak rujukan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya karena menghormati keputusannya. Beliau mengatakan beliau memahami apa yang mungkin terjadi kepada beliau di masa depan.
Dari beliau saya belajar bahwa untuk menjadi seorang dokter, mempraktikkan teori dan keterampilan kedokteran saja tak cukup.Â
Kedokteran adalah tentang seni dan humanisme. Mengingat, pasien datang tak hanya membawa keluhan yang ada pada fisiknya, namun juga masalah dalam kehidupannya, yang saling berkaitan dengan penyakitnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H