Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Informed Refusal di Mata Seorang Dokter

20 Oktober 2022   23:13 Diperbarui: 22 Oktober 2022   16:45 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang dokter memberikan edukasi kepada pasien. Sumber: Pexels/Thirdman via Kompas.com

Sejak awal September lalu, saya dipindahkan ke Puskesmas non-rawat inap yang masih berada di dalam kabupaten yang sama dengan Puskesmas saya sebelumnya dan masih dalam program yang sama yakni Program Internship Dokter Indonesia atau disebut sebagai PIDI.

Hingga hari ini, sudah satu setengah bulan waktu berlalu. Banyak hal yang saya pelajari selama bertugas di Puskesmas ini, salah satunya yang merupakan poin utamanya ialah bahwa sebagai seorang dokter tak hanya kompetensi dan keterampilan terkait medis yang harus dimiliki, namun ternyata lebih dari itu ialah kemampuan berkomunikasi seorang dokter untuk memberikan edukasi.

Jika ada kasus yang sudah tidak dapat ditangani di tingkat Puskesmas alias memerlukan diagnosis maupun tatalaksana lebih lanjut di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, saya akan menjelaskannya kepada pasien dengan kacamata saya sebagai seorang dokter yang mampu memberikan pertimbangan sesuai dengan keilmuan yang saya miliki agar pasien memahami urgensi dari rencana tindak lanjut saat seorang pasien diperlukan untuk dirujuk.

"Dok, saya mau anak saya dilahirkan di Puskesmas saja. Rumah sakit jauh, nanti keluarga susah untuk bolak-balik menjenguk saya." Adalah salah satu bentuk jawaban yang dilontarkan oleh pasien saya baru saja dua hari yang lalu yakni pasien dengan pembukaan serviks sudah lengkap, namun kepala tak kunjung turun dalam durasi waktu yang ditentukan. 

Saya tetap mengulangi edukasi kepada pasien, menginformasikan bahwa kondisinya sangat memerlukan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atau rumah sakit. Sampai akhirnya saya mulai mundur perlahan untuk memberikan edukasi, saat keluarga pasien dengan nada tinggi mengatakan bahwa itu adalah hak mereka untuk memilih tidak dirujuk.

Saya tidak berhak untuk marah sedikitpun karena itu adalah hak pasien, namun jelas saya kecewa karena edukasi yang sudah panjang kali lebar hingga berulang kali terlontarkan tak ada artinya di depan mereka. 

Saya pikir saya telah melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan. Yakni dengan mengulang-ulang edukasi untuk dirujuk walau keluarga serta pasien sendiri juga mengulang-ulang jawaban bahwa mereka benar-benar tak ingin si pasien dirujuk ke rumah sakit. 

Kemudian, saya mengeluarkan secarik kertas bertuliskan surat penolakan rujukan, saya menyampaikan kepada keluarga bahwa untuk menolak rujukan yang disarankan oleh dokter mereka harus menandatangani surat tersebut, sebagai bahan legalitas transaksi antara dokter dan pasien yang merupakan transaksi yang bersifat "upaya".

Dalam pengambilan suatu tindakan medis, para tenaga kesehatan termasuk di dalamnya adalah dokter, meminta pasien untuk menandatangani surat pernyataan yang dikenal sebagai informed consent atau jika diterjemahkan ialah persetujuan tindakan medis. 

Surat persetujuan tindakan medis adalah salah satu bentuk komunikasi di antara dokter dan pasien maupun keluarga pasien yang mewakili pasien dalam situasi-situasi tertentu. Selain surat persetujuan tindakan medis, dikenal juga dengan surat pernyataan penolakan tindakan medis atau disebut juga dengan informed refusal. 

Penolakan tindakan medis ini merupakan hak pasien yang berarti suatu penolakan yang dilakukan pasien setelah mendapatkan informasi yang lengkap oleh dokter. Penolakan tindakan medis adalah hak asasi dari seseorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri. 

Undang-Undang Praktik Kedokteran atau UUPK Nomor 29 Tahun 2004 pada pasal 51 mengatur kewajiban dokter, yakni memberikan pelayanan medis yang sesuai dengan standar profesi maupun standar operasional prosedur dan juga kebutuhan medis pasien. 

Kewajiban dokter yang berhubungan dengan hak pasien terdapat dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa menghormati hak yang dimiliki oleh pasiennya serta memberi kesempatan pasien untuk melaksanakan haknya itu adalah kewajiban seorang dokter. 

Apabila dokter telah menjalankan kewajibannya dan pasien dalam menggunakan haknya memilih untuk menolak tindakan medik maka dokter terlepas dari segala akibat hukum yang timbul setelah penolakan tersebut.  

Secara teori, seharusnya saya akan sudah merasa lega saat pasien menandatangani surat penolakan rujukan tersebut. Jika ada suatu hal terjadi di masa depan, saya tentu saja sudah terlepas dari segala akibat hukum yang timbul dengan penolakan tersebut.

Namun, sebagai seorang dokter yang mengetahui jelas bagaimana prognosis pasien dan janin yang dikandung di dalamnya jika tak segera dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, saya tak sedikitpun merasa lega. 

Tepat setelah keluarga pasien menandatangani surat tersebut, saya tetap mengedukasi secara perlahan kepada anggota keluarga lain yang sebenarnya tak dominan dalam pengambilan keputusan agar memahami kondisi pasien dan mau berembuk kembali, tak lain hanya untuk keselamatan pasien. 

Akhirnya, keluarga pasien berubah pikiran dan bersedia untuk dirujuk serta membatalkan surat penolakan rujukan yang sebelumnya sudah mereka tandatangani.

Saya bersyukur saya diberikan kesempatan mengenyam pendiidkan kedokteran dan kemudian menjadi seorang dokter. 

Saya bertemu dan memberikan edukasi kepada banyak orang dengan berbagai latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan lain sebagainya yang tak semudah seperti yang awalnya saya kira. 

Saya bersyukur dengan menjadi seorang dokter tak membuat saya berhenti untuk terus memikirkan kondisi pasien bahkan saat saya seharusnya sudah lega terbebas dari segala akibat hukum yang ditimbulkan karena tindakan penolakan medis/rujukan yang dinyatakan oleh pasien. 

Benar jika secara legalitas kami sudah terbebas, namun tetap saja jiwa kemanusiaan kami sebagai tenaga kesehatan masih was-was. 

Salam semangat untuk seluruh teman sejawat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun