Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tetek Bengek Pekerjaan Administratif Para Tenaga Kesehatan

3 Oktober 2022   13:50 Diperbarui: 4 Oktober 2022   10:41 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang dokter yang merupakan seorang tenaga kesehatan, tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi saya bahwa selain melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien, saya juga melakukan pekerjaan administratif. 

Tak bermaksud untuk menyanggah jika pekerjaan administratif merupakan bagian dari pekerjaan tenaga kesehatan, namun pekerjaan administratif yang pengerjaannya berulang dan tak efisien saya kira cukup menyita waktu hingga terasa 'mengorbankan' bagian pelayanan kesehatan kepada pasien. 

Saya ambil contoh pada pasien-pasien yang saya tangani pada setting Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Puskesmas tempat saya bekerja. Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, sesekali saya meminta pemeriksaan penunjang kepada pihak laboratorium Puskesmas untuk mengkonfirmasi hasil pertimbangan klinis saya. 

Untuk meminta pemeriksaan penunjang tersebut, saya harus mengisi blanko berisi daftar macam-macam pemeriksaan laboratorium yang perlu saya berikan centang pada pemeriksaan yang saya kehendaki, lalu mengisikan nama pasien, jenis kelamin pasien, umur pasien, alamat pasien, dan nomor rekam medis atau nomor Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ataupun Nomor Induk Kependudukan (NIK) pasien, serta membubuhkan tanda tangan dan nama lengkap saya di bawahnya.

Setelah menyelesaikan permintaan pemeriksaan penunjang dan mendapatkan hasilnya, kemudian saya menentukan diagnosis kerja untuk penyakit tersebut dan meresepkan obat baik obat per oral maupun injeksi jika diperlukan. 

Untuk hal tersebut, saya kembali menuliskan nama pasien, jenis kelamin pasien, umur pasien, alamat pasien, dan nomor identitas pasien pada kertas resep hingga kembali membubuhkan tanda tangan serta nama lengkap saya di bawahnya. 

Jika terdapat tindakan yang perlu diberikan kepada pasien, sebelum melakukan tindakan kami memberikan surat informed consent untuk diisi oleh pasien atau keluarga pasien bahwa mereka sudah diinformasikan mengenai definisi tindakan, tujuan tindakan, prosedur tindakan, hingga komplikasi dan prognosis dari tindakan dan lalu menandatangani surat tersebut sebagai bukti bahwa pasien atau keluarga pasien memberikan consent alias persetujuan akan tindakan yang akan dilakukan.

Jika pasien perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atau rumah sakit, kami juga harus mengisi dan meminta persetujuan pasien melalui surat informed consent. 

Si Lima Serangkai

Yang tak kalah penting dari segala hal di atas yang kiranya dapat saya sebut perintilan tetapi ia adalah perintilan penting yakni ialah penulisan rekam medis.

Menulis segala anamnesis yang telah kita lakukan, hasil pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, diagnosis banding hingga diagnosis kerja, serta terapi, tindak lanjut, hingga edukasi apa saja yang diberikan. 

Khusus untuk satu hal ini, rasanya inilah bagian yang paling 'menyita' waktu. Sebelum menulis anamnesis dan kawan-kawannya, tentu saja saya harus lagi-lagi menuliskan si lima serangkai, siapa lagi kalau bukan isian terkait nama pasien, jenis kelamin pasien, umur pasien, alamat pasien, dan nomor identitas pasien. 

Perampingan Pekerjaan Administratif

Tak jarang, beberapa dari dokumen-dokumen itu diharuskan untuk difotokopi sebagai arsip hingga kadang saya dibuat bingung, apakah saya adalah seorang karyawan perusahaan percetakan ataukah seorang dokter. 

Sekali lagi, sama sekali saya tak bermaksud untuk menyanggah bahwa dokter pun memiliki pekerjaan-pekerjaan administratif, namun jika pekerjaan-pekerjaan administratif tersebut kiranya dapat 'dirampingkan' bukankah si 'perampingan' ini tadi dapat menjadi suatu hal yang solutif mengingat ia mampu mengalihkan porsi waktu dan tenaga dari para tenaga kesehatan kepada pelayanan pasien yang harapannya menjadi lebih optimal?

Utilisasi Data Kesehatan

Selain membuang waktu dan tenaga, perintilan konvensional ini tentu saja membuang-buang kertas. Yang lebih menyedihkan lagi, kita mengetahui bahwa data adalah harta yang begitu berharga untuk kemajuan pembangunan suatu negara dikarenakan kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berdasar evidens dan dalam hal ini satu-satunya evidens terbaik adalah data, dan kebijakan yang baik adalah modal pembangunan bangsa. 

Sayangnya, utilisasi data yang selama ini telah dikumpulkan bersusah payah sering kali tak reliable alias tak dapat diandalkan karena ketidaklengkapan data, perbedaan terminologi yang digunakan dari satu data ke data lain, hingga perbedaan definisi operasional yang diberikan oleh masing-masing tempat. 

Pada akhirnya, tulisan hanya menjadi tulisan dan kesempatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui utilisasi data dalam pembuatan kebijakan pun lalu terbuang. 

Digitalisasi Kesehatan

Digitalisasi kesehatan kemudian menjadi kata kunci yang begitu kita butuhkan saat sekarang ini. Rekam medis elektronik yang terstandarisasi, data pasien yang dapat diinteroperabilitaskan antar fasilitas pelayanan kesehatan, pelaporan hasil skrining kesehatan masyarakat yang terintegrasi, serta telemedicine adalah mimpi-mimpi kita.

Rekam medis elektronik yang memungkinkan kita untuk tak lagi melakukan input terkait si lima serangkai alias nama pasien, jenis kelamin pasien, umur pasien, alamat pasien, dan nomor identitas pasien berulang kali. 

Kemudian ia juga membuat pekerjaan kita lebih efisien dikarenakan saat hendak menginput nama diagnosis penyakit yang kita sematkan kepada pasien atau nama obat yang kita resepkan, saat baru saja mengetikkan tiga huruf pertamanya, sistem secara pintar sudah mampu menebak apa yang hendak kita tuliskan. 

Semisal saya meresepkan obat ciprofloxacin, baru saja saya mengetikkan cip, sistem memberikan saran kepada saya untuk menuliskan ciprofloxacin dengan cukup menekan enter satu kali. Rasanya begitu efisien. 

Data pasien yang dapat diinteroperabilitaskan tentu saja adalah hal yang kita butuhkan selanjutnya. Pasien tak perlu bercerita berulang kali kepada setiap fasilitas pelayanan kesehatan berbeda yang ia datangi terkait riwayat-riwayat penyakitnya sebelumnya karena para tenaga kesehatan dapat mempelajarinya secara runtut dan utuh melalui data yang terintegrasi. 

Kemudian, pelaporan hasil skrining kesehatan masyarakat yang sebenarnya sudah banyak terdigitalisasi namun selama ini masih memiliki kelemahan, mengingat pelaporan tersebut dimasukkan ke lebih dari satu aplikasi alias dilakukan input berulang kali tentu saja membuat para pemegang program menjadi kelelahan. 

Transformasi Digital Kesehatan

Kemarin saya berkesempatan untuk memoderatori salah satu webinar yang diadakan oleh organisasi mahasiswa kedokteran seluruh Indonesia yang membahas terkait teknologi dalam pendidikan kedokteran dan sistem kesehatan nasional setelah pandemi COVID-19. 

Salah satu pembicara yang mengisi webinar tersebut adalah seorang kepala Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau kerap disingkat sebagai DTO Kemenkes RI. 

Beliau menyebutkan bahwa salah satu hal yang melatarbelakangi hadirnya DTO di tengah-tengah kita sekarang saat ini ialah adanya beban administratif tenaga kesehatan yang selama ini begitu besar, administrasi baik terkait usaha kesehatan perseorangan atau UKP hingga usaha kesehatan masyarakat atau UKM. 

Beliau berkata bahwa digitalisasi kesehatan adalah jawaban untuk beban administratif yang rasanya porsinya melebihi beban pelayanan kesehatan. Beliau menyebutkan bahwa Indonesia tengah membangun sistem digitalisasi tersebut. 

Sebagai informasi, transformasi digital kesehatan merupakan salah satu pilar transformasi kesehatan yang dicanangkan dan sedang dieksekusi di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan RI saat ini yakni Budi Gunadi Sadikin.

Hal ini tentu saja merupakan angin segar bagi kita semua. Beliau berjanji pada akhir Desember 2023, melalui peta jalan yang telah dibuat DTO, rekam medis elektronik di mana data antarpasien dapat diinteroperabilitaskan ditargetkan untuk sudah dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. 

Mari kita doakan dan mari kita kawal bersama-sama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun