Selain itu, isu terkait gender dalam pelaksanaan program keluarga berencana (KB) yang mulai mencuat setelah International Conference on Population Development pada tahun 1994 yang menggaungkan terkait peningkatan tanggung jawab dan partisipasi laki-laki dalam program keluarga bencana dan kesehatan reproduksi rupanya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia.
Perspektif gender dalam keluarga berencana
Mengutip penelitian oleh Syahputra pada tahun 2020, dijelaskan bahwa perspektif gender dalam keluarga berencana menekankan kebebasan untuk melakukan pilihan terkait metode kontrasepsi, untuk mengakses informasi terkait keluarga berencana, ketersediaan pelayanan yang lebih luas, dan meningkatkan partisipasi laki-laki dalam keluarga berencana.Â
Adanya dikotomi peran laki-laki dan perempuan menyebabkan ketimpangan baik dalam bentuk stereotipe, double burden, marginalisasi, sub-ordinasi, hingga kekerasan terhadap perempuan. Melalui dikotomi peran tersebut, perempuan dianggap harus berperan sebagai individu yang lemah, harus menurut, hingga tidak dapat pengambil keputusan.Â
Sebaliknya, laki-laki dianggap sebagai individu yang kuat, dapat mendominasi, dan satu-satunya pengambil keputusan dalam keluarga. Ketimpangan gender dalam keluarga berencana ini berimbas seolah-olah KB hanyalah urusan perempuan yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh laki-laki. Sungguh ironi bukan?
Faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam keluarga berencana
Secara garis besar, menurut penelitian oleh Syahputra pada tahun 2020, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam proses keluarga berencana, antara lain:Â
(1) Stereotip sosial atau pandangan yang telah mengakar kuat di dalam kehidupan sosial masyarakat bahwa KB adalah urusan perempuan menjadi faktor yang kuat mengapa penggunaan kontrasepsi didominasi oleh perempuan
(2) Pembagian peran gender, yang mana melalui proses pembagian peran gender, perempuan cenderung ditempatkan pada peran domestik dan laki-laki dalam peran publik, berimbas pada pengetahuan terkait keluarga berencana cenderung didominasi oleh para perempuan.Â
Sering kali penyuluhan terkait keluarga berencana hanya berhasil ditujukan kepada mereka para perempuan dikarenakan  suami alias para laki-laki sedang sibuk bekerja dan kemudian berdampak pada rendahnya pengetahuan laki-laki terkait keluarga berencana dan kesehatan reproduksiÂ
(3) Terbatasnya pilihan kontrasepsi untuk laki-laki dibanding kontrasepsi untuk perempuan mengakibatkan partisipasi laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi menjadi rendah. Pilihan kontrasepsi pada laki-laki antara lain berupa kondom, vasektomi, senggama terputus, dan kini terdapat RISUG atau metode kontrasepsi suntik untuk laki-laki yang singkatan dari Reversible Inhibition of Sperm Under Guidance yang studinya masih terus dikembangkan.